GIBRAN

Kahlil Gibran, begitu nama lengkapnya. Ia adalah seniman, penyair dan penulis yang lahir di Lebanon dan besar di Amerika Serikat. Satu karya miliknya yang terkenal dan begitu populer berjudul The Prophet (Sang Nabi). Buku yang berisi kumpulan puisi, prosa dan fabel ini telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 100 bahasa yang berbeda dan menjadi buku yang paling banyak diterjemahkan dalam sejarah. Buku ini menarik karena memuat sekitar 26 puisi prosa tentang kehidupan manusia. Kita bisa menemukan nilai filosofis, spiritual dan dalam beberapa puisi-prosanya kita bisa mengatakan refleksi Gibran tentang kehidupan manusia (bersama dengan realitas sosialnya) sangat inspirasional.

Gibran bicara tentang banyak hal di buku ini seperti; pernikahan, cinta, anak-anak, persahabatan, makan dan minum, pekerjaan, memberi, suka dan duka, jual-beli, hukum, baik dan jahat, kejahatan dan hukuman, kebebasan, alasan dan gairah, pengajaran, rasa sakit, pengetahuan diri, waktu, doa, kesenangan, agama dan kematian. Dari sekitan banyak perbincangan yang dilakukan oleh Gibran dalam puisi-prosanya tersebut, ada 2 hal yang patut kita baca ulang, khususnya terkait pandangan Gibran tentang Undang-Undang, Kejahatan dan Hukuman.

Tentang Undang-Undang; seorang Ahli Hukum datang bertanya pada Gibran bagaimana pandangnya tentang undang-undang? Gibaran menjawab: “Kalian suka sekali membuat undang-undang, tetapi lebih senang lagi melakukan pelanggaran. Seperti anak-anak yang dengan asik dan serius membuat menara pasir di pantai, lalu sambil tertawa gembira kalian hancurkan sendiri. Di saat kalian asyik membangun menara, laut menghantarkan lebih banyak lagi pasir ke tepi pantainya. Dan tatkala kalian beramai-ramai meruntuhkan menara yang telah kalian bangun, laut pun turut tertawa bersama kalian. Laut memang akan senantiasa ikut tertarawa bersama mereka yang tanpa dosa.

Tentang Kejahatan dan Hukuman; seorang Hakim bertanya pada Gibran bagaimana pandangannya tentang Kejahatan dan Hukuman? Gibran menjawab: “Seringkali kudengar kalian bicara tentang orang yang bersalah, seolah-olah dia bukan seorang kerabat, tapi asing bagimu –seorang yang hadir di dunia hanya sebagai pengganggu suasana. Tetapi aku katakan kepada kalian bahwa orang bijaksana dan paling keramat pun, tak mungkin lebih unggul derajatnya daripada percik api tertinggi –yang bersemayam tersembunyi dalam setiap pribadi.    

Jawaban Gibran tentang dua hal tersebut tidaklah sesingkat itu. Itu hanyalah potongan dari prosa yang dituliskan oleh Gibran yang dirasa penting untuk di highlight. Potongan-potongan prosa itu hendaknya dapat menjadi refleksi untuk kita bersama; khususnya pascadebat Pilpers 2024 pada tanggal 12 Desember 2023 dengan tema Hukum, HAM, Pemerintahan, Pemberantasan Korupsi, dan Penguatan Demokrasi. Penting diingat bahwa debat ini adalah bagian dari politik electoral, strategi kampaye untuk menggoyah atau menyakinkan pemilih. Saat ini ada sekitar 20 sampai 27 persen pemilih yang masih berstatus swing voter. Di mana 20 persennya sudah menentukan pilihan tetapi masih membuka ruang untuk berpindah pilihan. Sisanya ada sekitar 7 persen yang belum sama sekali menentukan pilihan. Lalu apakah kita bagian dari swing voter itu?  

Pada praktiknya, apa yang diperbincangkan dan dijanjikan dalam perdebatan tidaklah semudah itu ketika melaksanakannya. Ada banyak bentuk relasi kuasa yang akan bekerja ketika kebijakan-kebijakan strategis hendak dirumuskan dan diimplementasikan. Jika kita hendak berkata jujur, bukankah semua pasangan calon terlibat dalam pusaran politik yang sama? Pertanyaan-pertanyaan yang diberi pada saat debat tersebut pada akhirnya seperti cerminan pada diri sendiri. Ada Capres yang coba mengatakan harus ada dialog publik dalam menentukan perpindahan ibu kota; mungkin ia “lupa” jika dua partai pendukungnya ikut menyetujui UU IKN di legislatif. Begitu juga ada Capres yang mengulang pertanyaan tentang pelanggaran HAM dan lupa jika wakil yang mendampinginya membidangi itu pada saat ini dan bisa mengatasi persoalan tersebut jika mau dituntaskan.

Sekali lagi, tidak ada yang suci –khususnya dalam politik praktis, -tak ada yang ideal; semua adalah pertarungan kepentingan. Hanya tinggal menunggu waktu saja, kapan akan bertanding dan kapan akan bersanding untuk negosiasi ulang. Ingat, Gibran juga berpesan; “Tidak ada sehelai daun yang dapat menguning tanpa sepengetahuan seluruh pohon –meski ia tetap diam, demikian pula si salah tak dapat berbuat salah, tanpa keinginan nafsu sekalian manusia –walaupun terpendam.” Bercerminlah, jika yang kita bicarakan hanya etika an sich, bukannya kita sehari-hari juga sering melanggar etika? (*)

Tinggalkan komentar