GARAM

Garam, begitu banyak orang di Indonesia menyebutnya. Ia adalah senyawa kimia yang bernama Natrium Klorida dengan rumus monekul NaCl (mewakili perbandingan 1:1 ion natrium dan klorida). Pada perkembangannya, garam tidak hanya sebagai senyawa kimia yang tanpa makna atau tanpa nilai guna. Garam justru menjadi komponen utama dalam banyak aspek kehidupan manusia; sederhananya begini, “tidak ada dapur tanpa garam”. Sebab natrium klorida yang ada pada garam sering dijadikan sebagai bumbu dapur dan pengawet makanan. Bahkan sejumlah besar natrium klorida digunakan dalam banyak proses industri. Jadi wajar jika sehari-hari manusia itu pasti bersentuhan dengan garam.

Kandungan garam di dalam tubuh manusia juga dapat memberikan efek pada kesehatan karena natrium yang merupakan mineral elektrolit berperan penting dalam kelangsungan fungsi fisiologis tubuh. Keseimbangan elektrolit menentukan bagaimana organ tubuh berfungsi dengan baik, mulai dari aktivitas jantung, saraf, otot hingga otak. Itu mengapa jika tubuh manusia kekurangan garam maka akan menimbulkan efek kelelahan, kejang, keram otot, peningkatan risiko osteoporosis dan serangan jantung. Begitu juga jika komposisi garam di dalam tubuh berlebihan maka dapat menyebabkan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang dapat memicu sakit jantung, stroke dan masalah pada ginjal. Pada banyak studi kesehatan dikatakan tubuh kita membutuhkan 115 miligram (mg) sodium perhari untuk hidup sehat (rekomendasi dari Health Canada) atau  batas minum 575 mg dan maksimum 1.600 mg (rekomendasi dari United Kingdom Reference Nutrient Intakes). Namun World Health Organization (WHO) menganjurkan untuk membatasi konsumsi sodium 2.400mg atau sekitar 1 sendok teh garam per hari.

Posisi garam pada kehidupan manusia tidak hanya bertautan pada aspek kesehatan saja. Ia sudah masuk ke dalam ruang-ruang interaksi sosial-politik manusia sejak zaman dahulu kala. Sejarah bahkan mencatat pada tahun 6050 SM, garam telah menjadi bagian penting dari integral peradaban dunia karena pernah menjadi alat perdagangan yang berharga antara bangsa Venesia dan kerajaan Mediterania. Bahkan Venesia pada abad pertengahan menjadi kawasan ekonomi yang kuat karena berhasil memonopoli perdagangan garam (baca; yang pada masa itu garam disebut sebagai “emas putih”). Garam sangat dihargai pada masa itu, yang dalam beberapa catatan sejarah dikatakan garam juga menjadi alat atau mata uang. Itu mengapa besarnya pengaruh garam di sektor perdagangan pada masa itu meninggalkan jejaknya hari ini; di mana kata salary (baca; gaji) itu berasal dari kata salt yang berarti garam. Sejarah garam yang bersifat luas dan unik ini meninggalkan sejak yang tidak dapat dihapuskan dalam banyak budaya di dunia; bahkan di Mesir garam menjadi satu alat persembahan yang bersifat religius.

Tingginya nilai garam pada masa itu, tidak jarang membuat garam menjadi alat politik. Ketika pemerintah membutuhkan dukungan publik, mereka mensubsidi harga garam agar rakyat senang dan mendukung pemerintah. Namun sebaliknya, ketika pemerintah membutuhkan dana, mereka menaikan pajak garam. Hal ini terjadi pada pemerintahan Prancis di bawah kepemimpinan Raja Louis XVI yang memberlakukan pajak tinggi ke komoditi garam ketika Prancis mengalami krisis keuangan pada abad 18. Masalahnya, pajak garam tersebut tidak diberlakukan secara adil. Kaum bangsawan dikenakan pajak yang rendah, sedangkan rakyat biasa dikenakan pajak tinggi. Gaya hidup raja dan bangsawan Prancis yang mewah membuat krisis keuangan semakin menjadi-jadi. Rakyat yang sengsara dan kelaparan kemudian muak melihat situasi tersebut memutuskan untuk melakukan pemberontakan kepada kaum bangsawan pada 14 Juli 1789. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Revolusi Prancis.

Tidak hanya di Prancis, garam juga menjadi faktor kunci gerakan politik di India yang kemudian berhasil mengantarkan India merdeka dari jajahan Imperialisme Inggris. Peristiwa ini dikenal dengan nama Pawai Dandi atau Satyagraha; yang merupakan gerakan perlawanan rakyat sipil untuk memprotes monopoli garam yang diberlakukan oleh pemerintahan Inggris di India. Gerakan ini dipimpin langsung oleh Mahatma Gandhi dengan alasan garam merupakan kebutuhan vital bagi bangsa India. Aturan monopoli garam yang ditetapkan Inggris berisi larangan untuk mengumpulkan atau menjual garam dan memaksa rakyat untuk membeli garam kepada Inggris dengan pajak yang tinggi.

Pada 12 Maret 1930, Gandhi dan pengikutnya memutuhkan untuk melakukan aksi jalan kaki (pawai) ke Kota Dandi yang berada di Pantai Laut Arab. Jarak yang ditempuh pada aksi tersebut sepanjang 241 mil (sama dengan jarak Jakarta-Semarang). Setelah mereka sampai di Kota Dandi, mereka mulai melakukan penyulingan garam dari laut. Gerekan ini kemudian meluas hingga keseluruh India, ratusan ribu orang mulai memanen garam dan mendistribusikan sebagai komoditas mandiri di luar pemerintah Inggris. Aksi boikot produksi garam itu membuat pabrik garam dan perdagangan Inggris kacau balau. Dalam tahun itu, Inggris memenjarakan lebih dari 100.000 orang India karena protes damai. Jutaan orang di seluruh dunia mulai mendesak Inggris untuk meninggalkan India dan memberikan kemerdekaan untuk India.

Tentu seluruh kejadian tersebut merupakan satu catatan sejarah yang penting untuk diketahui; bahwa garam bukan hanya sebatas senyawa kimia tetapi ia lebih dari itu. Padanya melekat satu sistem kebudayaan, kepercayaan, gerak ekonomi perdagangan dan juga revolusi politik. Nah karena di negara kita sedang musim kampaye, maka rasa-rasanya penting untuk mengingatkan para elit politik kita agar memegang teguh prinsip penggunaan garam, apa itu? “Secukupnya Saja”.

Jangan kurang sebab ia akan menjadi hambar, jangan juga berlebihan karena ia bisa menjadi asin atau bahkan pahit. Jadi secukupnya saja ya dalam berkampaye! Jangan sampai memunculkan pertikaian dan konflik di tengah masyarakat. Bumbu glorifikasi yang berlebihan itu tidak baik, bukankah nantinya bakal ada jalan negosiasi di antara Parpol demi bagi-bagi kekuasaan?

Tinggalkan komentar