Sejak tahun 1920an istilah media massa atau pers mulai digunakan untuk mengkatagorikan jenis media yang secara inplisit didisain untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat yang sangat luas. Di Indonesia media massa dikatagorikan juga sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi yang didalamnya dilaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media catak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Adanya kegiatan jurnalistik tersebut menjadikan media massa mempunyai fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan demokrasi dengan berperan membangun kepercayaan publik dan segaligus membangun legitimasi pemerintah. Di sini fungsi cover both side menjadi penting untuk dijalankan oleh media agar tercipta keseimbangan pada informasi yang akan disampaikan ke masyarakat dan pemerintah. Terkadang dalam membangun informasi ke khalayak, media membutuhkan pandangan atau pendapat dari narasumber yang berkompeten. Narasumber yang berkompeten merupakan pakar-pakar yang berstatus sebagai akademisi di perguruan tinggi.
Pendapat para akademisi tersebut tentunya sangat dibutuhkan oleh media agar karya jurnalistik berupa pemberitaan yang dihasilkan oleh media bisa lebih dipercaya oleh publik dan mendapatkan status yang kredibel. Tidak hanya membutuhkan pendapat (statement), media massa juga membutuhkan opini-opini dari para akademisi untuk dijadikan pengetahuan tambahan bagi khalayak media sehingga tampilan media massa menjadi lebih informatif dan mempunyai nilai pengetahuan yang lebih.
Spencer & Marx
Hubungan antara media massa dan kelompok akademisi khususnya yang berada di wilayah rumpun ilmu sosial dan humaniora sungguh sangatlah dekat. Fenomena sosial dan politik, perubahan masyarakat, gerak pasar dan pertumbuhan ekonomi, penegakan hukum, hak asasi manusia dan distribusi keadilan, serta dampak-dampak pembangunan lainnya hanya bisa dijelaskan oleh mereka yang pakar di rumpun ilmu tersebut. Media membutuhkan pakar-pakar ini untuk bisa membantu menjelaskan dan menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi serta memprediksi dampak yang dihasilkan dari perubahan-perubahan yang sedang berlangsung. Terkadang, hasil analisis dan opini kiritis yang diberikan oleh para pakar ilmu sosial tersebut dapat menjadi postulat dalam memahami fenomena sosial.
Hal ini dapat dilihat pada karya-karya dua tokoh besar ilmu sosial yaitu Herbert Spencer dan Karl Marx. Kedua tokoh ini memiliki hubungan yang sangat dekat dengan dunia media khususnya media cetak pada masa itu. Spencer misalnya, sebagai ilmuan yang berpengaruh pada bidang sosiologi, namanya justru terkenal luas di masyarakat dunia ketika menjadi penulis dan Redaktur The Economist. Spencer kemudian menjadi salah satu pemikir Inggris yang paling argumentatif dan paling banyak dibicarakan pada Priode Victoria. Pandangannya yang kuat terhadap masyarakat, membuat Spencer mampu menghasilkan berbagai karya monumental dan berkonstribusi nyata terhadap perkembangan sosiologi, seperti: The Proper Sphere of Government (1843), Social Statics (1851), Education: Intellectual, Moral, and Physical (1861), dan The Synthetic Philosophy. Selain itu, ada dua karya besar Spencer yang paling terkenal yakni: Descriptive Sociology (1870) dan Principles of Sociology yang ditulis antara tahun 1876-1896.
Hampir sama dengan Spencer, Karl Marx yang merupakan tokoh sosiologi juga mendesiminasikan hasil pemikirannya melalui tulisan-tulisan di media massa. Marx pernah tercatat sebagai koresponden harian New York Tribune. Di media ini, Marx banyak menulis berbagai isu yang terkait dengan krisis di Eropa dan kapitalisme global pada saat itu. Artikel pertama Marx untuk media massa tersebut diterbitkan pada 21 Agustus 1852 dengan judul: The Elections in England – Tories and Whigs. Secara keseluruhan New York Tribune menerbitkan 67 artikel yang ditulis oleh Marx bersama rekannya Engels. Menariknya, pada rentang waktu yang sama, Marx dapat melakukan kompilasi tiga buku yang kemudian dikenal dengan nama The Crisis Notebooks. Di buku tersebut, Marx membuat catatan yang melimpah tentang krisis ekonomi, kecenderungan pasar modal, fluktuasi perdagangan dan kebangkrutan ekonomi yang sedang terjadi di dunia.
Secara keseluruhan, baik Spencer dan juga Marx sebenarnya menggunakan media massa untuk kepentingan kritik dan penyebaran idiologi pengetahuan yang mereka anut. Spencer menggunakan media massa untuk menuliskan artikel-artikelnya yang berisikan pemahaman teori-teori evolusi; sebagai pengikuti darwinisme, Spencer secara matang menjelaskan masyarakat sebagai sebuah proses evolusi. Frasa yang paling terkenal dari teori evolusi Spencer adalah Survival of The Fittest. Sedangkan Marx menggunakan media untuk terus melakukan agetasi dan propaganda terhadap gerakan kelas bawah dan buruh untuk melawan hegamoni kapitalisme. Michael Perelman dalam tulisannya berjudul; Karl Marx and Henry Carey in the New-York Tribune, menjelaskan bahwa Tribune menjadi kendaraan bagi Marx untuk mencapai masyarakat trans-atlantik dengan “membuat perang tersembunyi” bersama Henry Carey di mana etos editorial medianya dibuat bersifat progresif dan anti-perbudakan.
Postmodernisme & Peluang Diskursus Lokal
Dunia terus mengalami perubahan. Perubahan tersebut juga merambat pada aliran pemikiran yang saat ini sudah berada pada fase postmodernisme. Sebagai satu aliran atau pemikiran filsafat yang berkembang di penghujung abad 20, postmodernisme menjadi satu aliran pemikiran yang kritis terhadap filsafat modernisme yang cenderung mengedepankan aspek rasionalisme dalam bidang ilmu pengetahuan. Kritik teoritikal postmodernisme terhadap filsafat modernisme menghasilkan satu penekanan pada nilai relativitas, anti-universalitas, nihilistik dan kritik terhadap fundamentalisme sains.
Ciri dari pemikiran postmodernisme cenderung menolak meta-narasi, totalitas dan pendangan-pandangan besar dunia. Artinya, postmodernisme lebih senang menerima penjelasan yang bersifat “lokal naratif” dari kehidupan masyarakat manusia. Jean-Francois Lyotard sebagai filsuf postmodernisme mengatakan bahwa cerita agung tentang sejarah dan masyarakat yang diungkapkan oleh kelompok ilmuan renaisans (baca; ilmuan abad pencerahan) adalah cerita yang harus diabaikan dalam dunia postmodernisme. Lyotard sendiri lebih cendrung menyukai “cerita kecil” tentang masalah sosial yang dikatakan oleh manusia sendiri pada level kehidupan dan perjuangan mereka di tingkat lokal. Pada istilah lain disebut dengan semangat lokalitas.
Hadirnya postmodernisme dengan semangat lokalitas tentu memberikan peluang pada munculnya diskursus lokal. Peluang ini semakin membesar dengan bergesernya bentuk media massa yang tidak lagi hanya berbasis pada media cetak dan elektronik tetapi juga sudah berbasis pada media digital dengan bentuk sosial media. Di sini, setiap orang dapat membentuk medianya sendiri dengan konten-konten yang kritis, informatif, kreatif, dan terkadang oportunis. Melalui media sosial banyak “cerita-cerita kecil” terbentuk. Cerita yang selama ini tidak dianggap penting tetapi dapat menjadi viral melalui media sosial. Terkadang banyak hal-hal yang viral pada media sosial justru tidak terkait dengan narasi besar, tetapi lebih kepada hal-hal yang bersifat lokalitas seperti pemalakan yang dilakukan oleh preman-preman kampung dan bahkan memukul-mukul batang pohon pisang hingga roboh juga dapat menjadi viral dengan tagline “salam dari binjai”.
Setengah Abad FISIP UMSU
Tulisan ini dihadiahkan untuk menyambut Milad FISIP UMSU ke-50 tahun. Sebagai fakultas yang usianya sudah memasuki setengah abad, tentu FISIP UMSU harus mampu memberikan konstribusi nyata dalam membangun peradaban bangsa. Upaya itu harus terlihat dari kemampuan FISIP UMSU dalam membangun dan membentuk diskursus-diskursus akademis yang terkait dengan dinamika sosial-politik baik dalam bentuk statement ataupun opini-opini kritis. Pola pengembangan ini sangat mungkin dilaksanakan karena beberapa hal yaitu: pertama, adanya jalinan kerjasama antara FISIP UMSU dengan lima media online yang bereputasi. Jalinan kerjasama ini tentu harus dimanfaatkan dengan sistem simbiosis-mutualisme antara media dan akademisi untuk memberkuat gagasan dan diskursus-diskursus lokal yang kritis.
Gagasan yang dihasilkan dapat saja bersifat statement– statement pada isu-isu temporal atau dapat juga berupa desiminasi hasil penelitian dan pengabdian dosen. Sehingga publik dapat membaca pemikiran-pemikiran dari FISIP UMSU yang mungkin selama ini hanya terkungkung di dalam laporan-laporan jurnal yang hanya diakses oleh sekelompok akademikus. Memang saat ini dunia kampus –tidak hanya di FISIP UMSU, tetapi dibanyak kampus –sedang dihadapkan dengan pragmatisme pendidikan yang luar biasa. Para akademisinya hanya sibuk mengejar proposal penelitian dan membuat publikasi pada jurnal-jurnal terindeks nasional atau internasional dengan mengesampingkan tanggung jawab intelektualnya terhadap publik.
Kedua, FISIP UMSU mempunyai program FISIP UMSU Bicara yang disalurkan dalam bentuk: Seminar Melalui Zoom Meeting, Diskusi Informatif Melalui Chanel Youtube FISIP UMSUtv dan M-Radio UMSU yang dilaksanakan setiap bulan sekali. Program-program ini tentu dapat menjadi wahana intelektual akademikus FISIP UMSU dalam membangun diskursus lokal dengan konten-konten yang kreatif, informatif dan kritis. Apalagi di FISIP UMSU terdapat akademisi-akademisi yang pernah aktif menjadi aktifis politik, jurnalis dan redaktur di media sehingga peluang untuk menciptakan isu dan diskursus lokal menjadi lebih mudah dilakukan dari pengalaman akademisi-akademisi tersebut.
Tentu harapan ini tidak mengharuskan FISIP UMSU melahirkan Spencer atau Marx pada tingkatan lokal. Tetapi dengan polarisasi tersebut FISIP UMSU diharapkan dapat menjadi motor penggerak diskursus sosial-politik di tingkat lokal sehingga terbentuk trademark FISIP UMSU yang unggul sesuai dengan tagline-nya: FISIP UMSU Is The Best. Selamat Milad FISIP UMSU, teruslah berkayar –tidak hanya dalam mengejar akreditasi-akreditasi –tetapi juga berkarya untuk kemaslahatan publik yang lebih luas. (*)
Oleh: Mujahiddin, Dosen Kessos FISIP UMSU