Media Massa, Ilmuan Sosial & Diskursus Lokal  

Sejak tahun 1920an istilah media massa atau pers mulai digunakan untuk mengkatagorikan jenis media yang secara inplisit didisain untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat yang sangat luas. Di Indonesia media massa dikatagorikan juga sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi yang didalamnya dilaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media catak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Adanya kegiatan jurnalistik tersebut menjadikan media massa mempunyai fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan demokrasi dengan berperan membangun kepercayaan publik dan segaligus membangun legitimasi pemerintah. Di sini fungsi cover both side menjadi penting untuk dijalankan oleh media agar tercipta keseimbangan pada informasi yang akan disampaikan ke masyarakat dan pemerintah. Terkadang dalam membangun informasi ke khalayak, media membutuhkan pandangan atau pendapat dari narasumber yang berkompeten. Narasumber yang berkompeten merupakan pakar-pakar yang berstatus sebagai akademisi di perguruan tinggi.

Pendapat para akademisi tersebut tentunya sangat dibutuhkan oleh media agar karya jurnalistik berupa pemberitaan yang dihasilkan oleh media bisa lebih dipercaya oleh publik dan mendapatkan status yang kredibel. Tidak hanya membutuhkan pendapat (statement), media massa juga membutuhkan opini-opini dari para akademisi untuk dijadikan pengetahuan tambahan bagi khalayak media sehingga tampilan media massa menjadi lebih informatif dan mempunyai nilai pengetahuan yang lebih.

Spencer & Marx

Hubungan antara media massa dan kelompok akademisi khususnya yang berada di wilayah rumpun ilmu sosial dan humaniora sungguh sangatlah dekat. Fenomena sosial dan politik, perubahan masyarakat, gerak pasar dan pertumbuhan ekonomi, penegakan hukum, hak asasi manusia dan distribusi keadilan, serta dampak-dampak pembangunan lainnya hanya bisa dijelaskan oleh mereka yang pakar di rumpun ilmu tersebut. Media membutuhkan pakar-pakar ini untuk bisa membantu menjelaskan dan menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi serta memprediksi dampak yang dihasilkan dari perubahan-perubahan yang sedang berlangsung. Terkadang, hasil analisis dan opini kiritis yang diberikan oleh para pakar ilmu sosial tersebut dapat menjadi postulat dalam memahami fenomena sosial.

Hal ini dapat dilihat pada karya-karya dua tokoh besar ilmu sosial yaitu Herbert Spencer dan Karl Marx. Kedua tokoh ini memiliki hubungan yang sangat dekat dengan dunia media khususnya media cetak pada masa itu. Spencer misalnya, sebagai ilmuan yang berpengaruh pada bidang sosiologi, namanya justru terkenal luas di masyarakat dunia ketika menjadi penulis dan Redaktur The Economist. Spencer kemudian menjadi salah satu pemikir Inggris yang paling argumentatif dan paling banyak dibicarakan pada Priode Victoria. Pandangannya yang kuat terhadap masyarakat, membuat Spencer mampu menghasilkan berbagai karya monumental dan berkonstribusi nyata terhadap perkembangan sosiologi, seperti: The Proper Sphere of Government (1843), Social Statics (1851), Education: Intellectual, Moral, and Physical (1861), dan The Synthetic Philosophy. Selain itu, ada dua karya besar Spencer yang paling terkenal yakni: Descriptive Sociology (1870) dan Principles of Sociology yang ditulis antara tahun 1876-1896.

Hampir sama dengan Spencer, Karl Marx yang merupakan tokoh sosiologi juga mendesiminasikan hasil pemikirannya melalui tulisan-tulisan di media massa. Marx pernah tercatat sebagai koresponden harian New York Tribune. Di media ini, Marx banyak menulis berbagai isu yang terkait dengan krisis di Eropa dan kapitalisme global pada saat itu. Artikel pertama Marx untuk media massa tersebut diterbitkan pada 21 Agustus 1852 dengan judul: The Elections in England – Tories and Whigs. Secara keseluruhan New York Tribune menerbitkan 67 artikel yang ditulis oleh Marx bersama rekannya Engels. Menariknya, pada rentang waktu yang sama, Marx dapat melakukan kompilasi tiga buku yang kemudian dikenal dengan nama The Crisis Notebooks. Di buku tersebut, Marx membuat catatan yang melimpah tentang krisis ekonomi, kecenderungan pasar modal, fluktuasi perdagangan dan kebangkrutan ekonomi yang sedang terjadi di dunia.

Secara keseluruhan, baik Spencer dan juga Marx sebenarnya menggunakan media massa untuk kepentingan kritik dan penyebaran idiologi pengetahuan yang mereka anut. Spencer menggunakan media massa untuk menuliskan artikel-artikelnya yang berisikan pemahaman teori-teori evolusi; sebagai pengikuti darwinisme, Spencer secara matang menjelaskan masyarakat sebagai sebuah proses evolusi. Frasa yang paling terkenal dari teori evolusi Spencer adalah Survival of The Fittest. Sedangkan Marx menggunakan media untuk terus melakukan agetasi dan propaganda terhadap gerakan kelas bawah dan buruh untuk melawan hegamoni kapitalisme. Michael Perelman dalam tulisannya berjudul; Karl Marx and Henry Carey in the New-York Tribune, menjelaskan bahwa Tribune menjadi kendaraan bagi Marx untuk mencapai masyarakat trans-atlantik dengan “membuat perang tersembunyi” bersama Henry Carey di mana etos editorial medianya dibuat bersifat progresif dan anti-perbudakan.

Postmodernisme & Peluang Diskursus Lokal

Dunia terus mengalami perubahan. Perubahan tersebut juga merambat pada aliran pemikiran yang saat ini sudah berada pada fase postmodernisme. Sebagai satu aliran atau pemikiran filsafat yang berkembang di penghujung abad 20, postmodernisme menjadi satu aliran pemikiran yang kritis terhadap filsafat modernisme yang cenderung mengedepankan aspek rasionalisme dalam bidang ilmu pengetahuan. Kritik teoritikal postmodernisme terhadap filsafat modernisme menghasilkan satu penekanan pada nilai relativitas, anti-universalitas, nihilistik dan kritik terhadap fundamentalisme sains.

Ciri dari pemikiran postmodernisme cenderung menolak meta-narasi, totalitas dan pendangan-pandangan besar dunia. Artinya, postmodernisme lebih senang menerima penjelasan yang bersifat “lokal naratif” dari kehidupan masyarakat manusia. Jean-Francois Lyotard sebagai filsuf postmodernisme mengatakan bahwa cerita agung tentang sejarah dan masyarakat yang diungkapkan oleh kelompok ilmuan renaisans (baca; ilmuan abad pencerahan) adalah cerita yang harus diabaikan dalam dunia postmodernisme. Lyotard sendiri lebih cendrung menyukai “cerita kecil” tentang masalah sosial yang dikatakan oleh manusia sendiri pada level kehidupan dan perjuangan mereka di tingkat lokal. Pada istilah lain disebut dengan semangat lokalitas.

Hadirnya postmodernisme dengan semangat lokalitas tentu memberikan peluang pada munculnya diskursus lokal. Peluang ini semakin membesar dengan bergesernya bentuk media massa yang tidak lagi hanya berbasis pada media cetak dan elektronik tetapi juga sudah berbasis pada media digital dengan bentuk sosial media. Di sini, setiap orang dapat membentuk medianya sendiri dengan konten-konten yang kritis, informatif, kreatif, dan terkadang oportunis. Melalui media sosial banyak “cerita-cerita kecil” terbentuk. Cerita yang selama ini tidak dianggap penting tetapi dapat menjadi viral melalui media sosial. Terkadang banyak hal-hal yang viral pada media sosial justru tidak terkait dengan narasi besar, tetapi lebih kepada hal-hal yang bersifat lokalitas seperti pemalakan yang dilakukan oleh preman-preman kampung dan bahkan memukul-mukul batang pohon pisang hingga roboh juga dapat menjadi viral dengan tagline “salam dari binjai”.

Setengah Abad FISIP UMSU

Tulisan ini dihadiahkan untuk menyambut Milad FISIP UMSU ke-50 tahun. Sebagai fakultas yang usianya sudah memasuki setengah abad, tentu FISIP UMSU harus mampu memberikan konstribusi nyata dalam membangun peradaban bangsa. Upaya itu harus terlihat dari kemampuan FISIP UMSU dalam membangun dan membentuk diskursus-diskursus akademis yang terkait dengan dinamika sosial-politik baik dalam bentuk statement ataupun opini-opini kritis. Pola pengembangan ini sangat mungkin dilaksanakan karena beberapa hal yaitu: pertama, adanya jalinan kerjasama antara FISIP UMSU dengan lima media online yang bereputasi. Jalinan kerjasama ini tentu harus dimanfaatkan dengan sistem simbiosis-mutualisme antara media dan akademisi untuk memberkuat gagasan dan diskursus-diskursus lokal yang kritis.

Gagasan yang dihasilkan dapat saja bersifat statement statement pada isu-isu temporal atau dapat juga berupa desiminasi hasil penelitian dan pengabdian dosen. Sehingga publik dapat membaca pemikiran-pemikiran dari FISIP UMSU yang mungkin selama ini hanya terkungkung di dalam laporan-laporan jurnal yang hanya diakses oleh sekelompok akademikus. Memang saat ini dunia kampus –tidak hanya di FISIP UMSU, tetapi dibanyak kampus –sedang dihadapkan dengan pragmatisme pendidikan yang luar biasa. Para akademisinya hanya sibuk mengejar proposal penelitian dan membuat publikasi pada jurnal-jurnal terindeks nasional atau internasional dengan mengesampingkan tanggung jawab intelektualnya terhadap publik.

Kedua, FISIP UMSU mempunyai program FISIP UMSU Bicara yang disalurkan dalam bentuk: Seminar Melalui Zoom Meeting, Diskusi Informatif Melalui Chanel Youtube FISIP UMSUtv dan M-Radio UMSU yang dilaksanakan setiap bulan sekali. Program-program ini tentu dapat menjadi wahana intelektual akademikus FISIP UMSU dalam membangun diskursus lokal dengan konten-konten yang kreatif, informatif dan kritis. Apalagi di FISIP UMSU terdapat akademisi-akademisi yang pernah aktif menjadi aktifis politik, jurnalis dan redaktur di media sehingga peluang untuk menciptakan isu dan diskursus lokal menjadi lebih mudah dilakukan dari pengalaman akademisi-akademisi tersebut.

Tentu harapan ini tidak mengharuskan FISIP UMSU melahirkan Spencer atau Marx pada tingkatan lokal. Tetapi dengan polarisasi tersebut FISIP UMSU diharapkan dapat menjadi motor penggerak diskursus sosial-politik di tingkat lokal sehingga terbentuk trademark FISIP UMSU yang unggul sesuai dengan tagline-nya: FISIP UMSU Is The Best. Selamat Milad FISIP UMSU, teruslah berkayar –tidak hanya dalam mengejar akreditasi-akreditasi –tetapi juga berkarya untuk kemaslahatan publik yang lebih luas. (*)

Oleh: Mujahiddin, Dosen Kessos FISIP UMSU

Keledai, Harimau dan Singa


Di tengah belantara hutan yang rimbun, terjadi perdebatan yang panjang antara Keledai dan Harimau. Mereka berdebat tentang rumput yang mereka lihat. Keledai mengatakan, rumput itu berwarna biru dan ia bersikeras atas pandangannya tersebut. Harimau marah, karena ia tau bahwa rumput yang mereka pandang itu sebenarnya berwarna hijau. Untuk menghindari perdebatan yang berkepanjangan, mereka akhirnya sepakat untuk menemui Singa; si raja hutan. Singa dikenal bijak dalam memutuskan berbagai perkara dan perselisihan yang terjadi di antara binatang penghuni hutan.
Pertemuan-pun berlangsung, Singa dengan cermat mendengar cerita dari Keledai dan Harimau. Setelah mendengar cerita itu; Singa diminta untuk memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Ketupusan diambil, Singa menyatakan bahwa Keledai-lah yang benar. Tidak hanya itu, Singa juga mengambil keputusan dengan memberikan sanksi kepada Harimau berupa larangan bicara kepada siapapun selama satu tahun. Larangan tersebut berlaku saat itu juga, sehingga otomatis Harimau tidak bisa bertanya atau berargument lagi dihadapan Singa.
Waktu terus berjalan, akhirnya Harimau sudah melawati masa hukumannya selama satu tahun. Hari yang dinanti itu telah tiba, Harimau langsung menemui Singa karena ia sangat penasaran dan ingin bertanya mengapa Singa membenarkan pernyataan Keledai? Dan mengapa ia harus mendapatkan hukuman larangan bicara selama satu tahun? Mendengar kedua pertanyaan ini diajukan, Singa menahan tawanya. Sambil menatap Harimau, Singa menjawab; “saya tau rumput itu berwarna hijau dan saya memberikan hukuman kepada-mu bukan karena kamu salah, tetapi karena kamu sudah membuang-buang waktu mu untuk berdebat dengan seekor keledai.”
Singa kemudian melanjutkan nasehatnya; “hindari perdebatan terutama dengan yang jahil dan angkuh. Mereka hanya merusak emosi kamu sendiri. Berdebat dengan Keledai yang bodoh hanya akan membuat mu seperti dia.” Itu sebabnya aku menghukum mu untuk berdiam diri, agar kamu bisa memetik hikmah untuk tidak lagi berdebat dengan kebodohan.
Nasehat Singa kepada Harimau patut untuk dicermati. Apalagi dalam situasi saat ini yang sudah masuk masa kampaye politik. Terkadang kita tidak bisa menghindari perdebatan dilingkungan sosial kita sehari-hari. Dalam banyak kasus bahkan perdebatan tersebut tidak mendasar; tanpa argumentasi logis, dukung-mendukung hanya sebatas fanatisme buta atau hanya sebatas kebencian yang tidak mendasar terhadap satu aktor tertentu. Banyak diantara kita bahkan sudah lebih dulu memberikan judging dan lebeling terhadap aktor politik tanpa melihat track record kinerja, latar belakang karir politik, pengalaman sebagai warga negara dan lain sebagainya.
Tidak jarang juga ada di antara kita ada yang berani mengatakan visi-misi calon pilihannya lebih baik dari visi-misi calon lainnya, padahal pernyataan tersebut tidak dilandasi pengetahuan yang cukup atas perbandingan naskah visi-misi yang ditulis. Malah bisa jadi, yang memberi penilaian sama sekali belum pernah membaca naskah visi-misi calon. Pengetahuannya hanya didasarkan pada “katanya”. Terkadang celakanya, sumber “katanya” berasal dari postingan-postingan media sosial yang tidak jelas asal muasalnya.
Dalam tiga tahun terakhir, pilihan masyarakat indonesia untuk mencari informasi memang lebih banyak melalui media sosial. Hal ini terlihat dari laporan Survei hasil Kolaborasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bersama Katadata Insight Center (KIS) yang mengungkapkan dari 10.000 responden 72,6 persen mengaku bahwa media sosial sebagai sumber informasi utama dalam mencari informasi. Sedangakan televisi dan situs berita online menjadi sumber informasi kedua dan ketiga dengan jumlah 60 persen dan 27,5 persen.
Menyandarkan informasi yang begitu besar pada media sosial tanpa diikuti nalar kritis tentu menjadi permasalahan. Sebab banyak dari konten-konten media sosial berisi pendapat pribadi, informasi bohong (hoaks) yang tidak layak dikonsumsi. Kuatnya peran media sosial sebagai sumber informasi, memberikan pengaruh yang kuat dalam pembentukan realitas sosial. Dalam konsepsi filsafat -khususnya di wilayah epistimologis – kondisi ini disebut-sebut melahirkan situasi post-truth. Pemilihan presiden di Amerika pada tahun 2016 lalu banyak diwarnai oleh kondisi ini. Metode propaganda firehouse of falsehood-nya Trump menciptakan kondisi post-truth yang mengemparkan. Tidaknya hanya di dalam Negeri Amerika tetapi juga pada wilayah global.
Kondisi post-truth itu kemudian diangkat dan ditulis secara utuh oleh Tom Nichols dengan judul buku; The Death of Expertise. Ada banyak penjelasan yang menarik dalam buku ini tentang ‘Matinya Kepakaran’ dan ancaman bahayanya terhadap demokrasi. Point pentingnya Nichols ingin mengatakan bahwa pendapat yang salah bisa dianggap sebagai kebenaran. Ia kemudian menggaris bawahi hilangnya peran perguruan tinggi, media hingga kalangan pakar yang harusnya dapat memberikan penjelasan yang benar tetapi justru kadang memiliki andil dalam mematikan kepakaran. Pesan lainnya yang disampaikan Nichols adalah penting mencari dan memperoleh informasi yang tepat, demi kebaikan diri sendiri, orang lain dan arah pembangunan demokrasi. Bukankah di dalam propaganda dan praktik demokrasi yang buruk; ‘Ketidaktauan sengaja ditumbuhkan karena ia akan bernilai sama di dalam kotak suara?’ Jangan sampai kita terjebak dalam situasi ini.
Saat ini kita sedang berada dalam kondisi Pemilu. Praktik politik elektoral terkadang membuat aktor-aktor politik menghalalkan segala cara untuk membuat propaganda dan black campaign terhadap pesaing mereka untuk mendapatkan suara dari masyarakat. Terkadang pada prosesnya, praktik-praktik tersebut menghasilkan pembelahan di antara masyarakat baik pada saat Pemilu maupun setelahnya. Celakanya, setelah Pemilu selesai, aktor-aktor tadi malah berdamai.
Maka bijaklah dalam memilih. Hindari perdebatan yang tidak penting. Jika pengetahuan kita tidak cukup untuk menjelaskan sesuatu, maka diamlah. Jangan memperkeruh suasana. Jika ada “Keledai” yang mengatakan rumput itu biru, maka biarkanlah. Memang begitulah Keledai, ia suka jatuh dua kali di lubang yang sama. Tentu kita bukan Kedelaikan? Eh, maksudnya Keledai? Ah, itupun masih salah tulis! (*)

Oleh: Mujahiddin
Seorang Doktor Studi Pembangunan di FISIP UMSU & Direktur Eksekutif MuhRaz Institut.

GARAM

Garam, begitu banyak orang di Indonesia menyebutnya. Ia adalah senyawa kimia yang bernama Natrium Klorida dengan rumus monekul NaCl (mewakili perbandingan 1:1 ion natrium dan klorida). Pada perkembangannya, garam tidak hanya sebagai senyawa kimia yang tanpa makna atau tanpa nilai guna. Garam justru menjadi komponen utama dalam banyak aspek kehidupan manusia; sederhananya begini, “tidak ada dapur tanpa garam”. Sebab natrium klorida yang ada pada garam sering dijadikan sebagai bumbu dapur dan pengawet makanan. Bahkan sejumlah besar natrium klorida digunakan dalam banyak proses industri. Jadi wajar jika sehari-hari manusia itu pasti bersentuhan dengan garam.

Kandungan garam di dalam tubuh manusia juga dapat memberikan efek pada kesehatan karena natrium yang merupakan mineral elektrolit berperan penting dalam kelangsungan fungsi fisiologis tubuh. Keseimbangan elektrolit menentukan bagaimana organ tubuh berfungsi dengan baik, mulai dari aktivitas jantung, saraf, otot hingga otak. Itu mengapa jika tubuh manusia kekurangan garam maka akan menimbulkan efek kelelahan, kejang, keram otot, peningkatan risiko osteoporosis dan serangan jantung. Begitu juga jika komposisi garam di dalam tubuh berlebihan maka dapat menyebabkan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang dapat memicu sakit jantung, stroke dan masalah pada ginjal. Pada banyak studi kesehatan dikatakan tubuh kita membutuhkan 115 miligram (mg) sodium perhari untuk hidup sehat (rekomendasi dari Health Canada) atau  batas minum 575 mg dan maksimum 1.600 mg (rekomendasi dari United Kingdom Reference Nutrient Intakes). Namun World Health Organization (WHO) menganjurkan untuk membatasi konsumsi sodium 2.400mg atau sekitar 1 sendok teh garam per hari.

Posisi garam pada kehidupan manusia tidak hanya bertautan pada aspek kesehatan saja. Ia sudah masuk ke dalam ruang-ruang interaksi sosial-politik manusia sejak zaman dahulu kala. Sejarah bahkan mencatat pada tahun 6050 SM, garam telah menjadi bagian penting dari integral peradaban dunia karena pernah menjadi alat perdagangan yang berharga antara bangsa Venesia dan kerajaan Mediterania. Bahkan Venesia pada abad pertengahan menjadi kawasan ekonomi yang kuat karena berhasil memonopoli perdagangan garam (baca; yang pada masa itu garam disebut sebagai “emas putih”). Garam sangat dihargai pada masa itu, yang dalam beberapa catatan sejarah dikatakan garam juga menjadi alat atau mata uang. Itu mengapa besarnya pengaruh garam di sektor perdagangan pada masa itu meninggalkan jejaknya hari ini; di mana kata salary (baca; gaji) itu berasal dari kata salt yang berarti garam. Sejarah garam yang bersifat luas dan unik ini meninggalkan sejak yang tidak dapat dihapuskan dalam banyak budaya di dunia; bahkan di Mesir garam menjadi satu alat persembahan yang bersifat religius.

Tingginya nilai garam pada masa itu, tidak jarang membuat garam menjadi alat politik. Ketika pemerintah membutuhkan dukungan publik, mereka mensubsidi harga garam agar rakyat senang dan mendukung pemerintah. Namun sebaliknya, ketika pemerintah membutuhkan dana, mereka menaikan pajak garam. Hal ini terjadi pada pemerintahan Prancis di bawah kepemimpinan Raja Louis XVI yang memberlakukan pajak tinggi ke komoditi garam ketika Prancis mengalami krisis keuangan pada abad 18. Masalahnya, pajak garam tersebut tidak diberlakukan secara adil. Kaum bangsawan dikenakan pajak yang rendah, sedangkan rakyat biasa dikenakan pajak tinggi. Gaya hidup raja dan bangsawan Prancis yang mewah membuat krisis keuangan semakin menjadi-jadi. Rakyat yang sengsara dan kelaparan kemudian muak melihat situasi tersebut memutuskan untuk melakukan pemberontakan kepada kaum bangsawan pada 14 Juli 1789. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Revolusi Prancis.

Tidak hanya di Prancis, garam juga menjadi faktor kunci gerakan politik di India yang kemudian berhasil mengantarkan India merdeka dari jajahan Imperialisme Inggris. Peristiwa ini dikenal dengan nama Pawai Dandi atau Satyagraha; yang merupakan gerakan perlawanan rakyat sipil untuk memprotes monopoli garam yang diberlakukan oleh pemerintahan Inggris di India. Gerakan ini dipimpin langsung oleh Mahatma Gandhi dengan alasan garam merupakan kebutuhan vital bagi bangsa India. Aturan monopoli garam yang ditetapkan Inggris berisi larangan untuk mengumpulkan atau menjual garam dan memaksa rakyat untuk membeli garam kepada Inggris dengan pajak yang tinggi.

Pada 12 Maret 1930, Gandhi dan pengikutnya memutuhkan untuk melakukan aksi jalan kaki (pawai) ke Kota Dandi yang berada di Pantai Laut Arab. Jarak yang ditempuh pada aksi tersebut sepanjang 241 mil (sama dengan jarak Jakarta-Semarang). Setelah mereka sampai di Kota Dandi, mereka mulai melakukan penyulingan garam dari laut. Gerekan ini kemudian meluas hingga keseluruh India, ratusan ribu orang mulai memanen garam dan mendistribusikan sebagai komoditas mandiri di luar pemerintah Inggris. Aksi boikot produksi garam itu membuat pabrik garam dan perdagangan Inggris kacau balau. Dalam tahun itu, Inggris memenjarakan lebih dari 100.000 orang India karena protes damai. Jutaan orang di seluruh dunia mulai mendesak Inggris untuk meninggalkan India dan memberikan kemerdekaan untuk India.

Tentu seluruh kejadian tersebut merupakan satu catatan sejarah yang penting untuk diketahui; bahwa garam bukan hanya sebatas senyawa kimia tetapi ia lebih dari itu. Padanya melekat satu sistem kebudayaan, kepercayaan, gerak ekonomi perdagangan dan juga revolusi politik. Nah karena di negara kita sedang musim kampaye, maka rasa-rasanya penting untuk mengingatkan para elit politik kita agar memegang teguh prinsip penggunaan garam, apa itu? “Secukupnya Saja”.

Jangan kurang sebab ia akan menjadi hambar, jangan juga berlebihan karena ia bisa menjadi asin atau bahkan pahit. Jadi secukupnya saja ya dalam berkampaye! Jangan sampai memunculkan pertikaian dan konflik di tengah masyarakat. Bumbu glorifikasi yang berlebihan itu tidak baik, bukankah nantinya bakal ada jalan negosiasi di antara Parpol demi bagi-bagi kekuasaan?

GIBRAN

Kahlil Gibran, begitu nama lengkapnya. Ia adalah seniman, penyair dan penulis yang lahir di Lebanon dan besar di Amerika Serikat. Satu karya miliknya yang terkenal dan begitu populer berjudul The Prophet (Sang Nabi). Buku yang berisi kumpulan puisi, prosa dan fabel ini telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 100 bahasa yang berbeda dan menjadi buku yang paling banyak diterjemahkan dalam sejarah. Buku ini menarik karena memuat sekitar 26 puisi prosa tentang kehidupan manusia. Kita bisa menemukan nilai filosofis, spiritual dan dalam beberapa puisi-prosanya kita bisa mengatakan refleksi Gibran tentang kehidupan manusia (bersama dengan realitas sosialnya) sangat inspirasional.

Gibran bicara tentang banyak hal di buku ini seperti; pernikahan, cinta, anak-anak, persahabatan, makan dan minum, pekerjaan, memberi, suka dan duka, jual-beli, hukum, baik dan jahat, kejahatan dan hukuman, kebebasan, alasan dan gairah, pengajaran, rasa sakit, pengetahuan diri, waktu, doa, kesenangan, agama dan kematian. Dari sekitan banyak perbincangan yang dilakukan oleh Gibran dalam puisi-prosanya tersebut, ada 2 hal yang patut kita baca ulang, khususnya terkait pandangan Gibran tentang Undang-Undang, Kejahatan dan Hukuman.

Tentang Undang-Undang; seorang Ahli Hukum datang bertanya pada Gibran bagaimana pandangnya tentang undang-undang? Gibaran menjawab: “Kalian suka sekali membuat undang-undang, tetapi lebih senang lagi melakukan pelanggaran. Seperti anak-anak yang dengan asik dan serius membuat menara pasir di pantai, lalu sambil tertawa gembira kalian hancurkan sendiri. Di saat kalian asyik membangun menara, laut menghantarkan lebih banyak lagi pasir ke tepi pantainya. Dan tatkala kalian beramai-ramai meruntuhkan menara yang telah kalian bangun, laut pun turut tertawa bersama kalian. Laut memang akan senantiasa ikut tertarawa bersama mereka yang tanpa dosa.

Tentang Kejahatan dan Hukuman; seorang Hakim bertanya pada Gibran bagaimana pandangannya tentang Kejahatan dan Hukuman? Gibran menjawab: “Seringkali kudengar kalian bicara tentang orang yang bersalah, seolah-olah dia bukan seorang kerabat, tapi asing bagimu –seorang yang hadir di dunia hanya sebagai pengganggu suasana. Tetapi aku katakan kepada kalian bahwa orang bijaksana dan paling keramat pun, tak mungkin lebih unggul derajatnya daripada percik api tertinggi –yang bersemayam tersembunyi dalam setiap pribadi.    

Jawaban Gibran tentang dua hal tersebut tidaklah sesingkat itu. Itu hanyalah potongan dari prosa yang dituliskan oleh Gibran yang dirasa penting untuk di highlight. Potongan-potongan prosa itu hendaknya dapat menjadi refleksi untuk kita bersama; khususnya pascadebat Pilpers 2024 pada tanggal 12 Desember 2023 dengan tema Hukum, HAM, Pemerintahan, Pemberantasan Korupsi, dan Penguatan Demokrasi. Penting diingat bahwa debat ini adalah bagian dari politik electoral, strategi kampaye untuk menggoyah atau menyakinkan pemilih. Saat ini ada sekitar 20 sampai 27 persen pemilih yang masih berstatus swing voter. Di mana 20 persennya sudah menentukan pilihan tetapi masih membuka ruang untuk berpindah pilihan. Sisanya ada sekitar 7 persen yang belum sama sekali menentukan pilihan. Lalu apakah kita bagian dari swing voter itu?  

Pada praktiknya, apa yang diperbincangkan dan dijanjikan dalam perdebatan tidaklah semudah itu ketika melaksanakannya. Ada banyak bentuk relasi kuasa yang akan bekerja ketika kebijakan-kebijakan strategis hendak dirumuskan dan diimplementasikan. Jika kita hendak berkata jujur, bukankah semua pasangan calon terlibat dalam pusaran politik yang sama? Pertanyaan-pertanyaan yang diberi pada saat debat tersebut pada akhirnya seperti cerminan pada diri sendiri. Ada Capres yang coba mengatakan harus ada dialog publik dalam menentukan perpindahan ibu kota; mungkin ia “lupa” jika dua partai pendukungnya ikut menyetujui UU IKN di legislatif. Begitu juga ada Capres yang mengulang pertanyaan tentang pelanggaran HAM dan lupa jika wakil yang mendampinginya membidangi itu pada saat ini dan bisa mengatasi persoalan tersebut jika mau dituntaskan.

Sekali lagi, tidak ada yang suci –khususnya dalam politik praktis, -tak ada yang ideal; semua adalah pertarungan kepentingan. Hanya tinggal menunggu waktu saja, kapan akan bertanding dan kapan akan bersanding untuk negosiasi ulang. Ingat, Gibran juga berpesan; “Tidak ada sehelai daun yang dapat menguning tanpa sepengetahuan seluruh pohon –meski ia tetap diam, demikian pula si salah tak dapat berbuat salah, tanpa keinginan nafsu sekalian manusia –walaupun terpendam.” Bercerminlah, jika yang kita bicarakan hanya etika an sich, bukannya kita sehari-hari juga sering melanggar etika? (*)

MEDUSA

Jika kita mempelajari Mitologi Yunani, kata “Medusa” dikonsepsikan sebagai bentuk penjaga atau pelindung. Hal ini berkaitan dengan makhluk Mitologi Yunani yang bernama Medusa. Ia adalah perempuan cantik yang menjadi pendeta di Kuil milik Dewi Athena. Kecantikannya membuat Poseidon (Dewa Penguasa Laut dan Danau) tertarik padanya. Pada satu waktu, ketika Medusa mandi dipinggiran laut yang berada dekat Kuil Athena, ia bertemu dengan Poseidon. Medusa tau jika Poseidon ingin memperkosannya, ia lari ke dalam Kuil Athena untuk mencari pertolongan dan Poseidon mengejar.

Malang, Medusa akhirnya berhasil diperkosa oleh Poseidon di dalam kuil. Mendengar adanya tragedi tersebut di dalam kuilnya, Dewi Athena marah. Namun kemarahan tersebut tidak ditujukan pada Poseidon tetapi kepada Medusa yang sebenarnya menjadi korban kebengisan Poseidon. Dewi Athena mengutuk Medusa dengan mengubah rambut Medusa menjadi Ular dan siapa saja yang melihat mata Medusa akan berubah menjadi batu. Kutukan ini membuat Medusa menjadi terasing, tak ada satupun orang yang berani menatapnya.

Seiring berjalannya waktu, kutukan yang diberikan kepada Medusa menjadikan kepalanya begitu berharga karena dianggap dapat menjadi senjata yang mematikan bagi banyak orang. Raja Polidektes tertarik akan hal ini dan mengirim Perseus untuk memenggal kepala Medusa. Misi pembunuhan ini kemudian berjalan dan didukung oleh Dewi Athena, Hades, Hephaestus, Hermes. Mereka memberikan Perseus senjata istimewa mulai dari sandal bersayap, helm gaib, pedang dan perisai cermin. Dengan menggunakan peralatan ini, Perseus berhasil membunuh Medusa. Perisai cermin digunakan untuk melihat banyangan Medusa dan seketika Medusa lewat, kepalanya langsung ditebas oleh Perseus dengan pedang.

Benar, kepala Medusa memang menjadi senjata yang ampuh untuk menaklukan musuh. Perseus tau akan hal ini dan ia menggunakannya untuk menaklukan Phineus, Atlas dan bahkan Raja Polidektes itu sendiri. Hingga pada akhirnya, kepala Medusa diberikan oleh Perseus kepada Dewi Athena untuk ditempatkan pada perisainya atau biasa disebut Tameng Aigis.

WID, WAD and GAD

Kisah Medusa di atas memberikan banyak tafsir atas kehidupan seorang perempuan baik yang berkait dengan hubungan kekuasaan politik, maupun yang berkaitan dengan diskriminasi sosial. Dalam banyak karya sastra klasik dan seni, Medusa sering disimbolkan sebagai bentuk gerakan perlawanan terhadap segala bentuk kekerasan seksual dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan. Kisah Medusa tersebut juga menjadi gambaran atas pandangan filsafat barat yang selalu memposisikan perempuan sebagai subordinat, inferior dan terbelakang di dalam proses relasi sosial; perempuan selalu menjadi korban, disalahkan dan didiskriminasikan.

Stigma ini mendorong terjadinya gerakan-gerakan yang menuntut adanya bentuk keadilan dan kesetaraan terhadap perempuan khususnya dalam proses pembangunan seperti Women in Development (WID), Women and Development (WAD) dan Gender and Development. Ketiga gerakan ini memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam memposisikan perempuan pada wilayah pembangunan. WID memposisikan pentingnya produktifitas perempuan di dalam sektor ketenagakerjaan dengan menyusun program-program yang dapat mengurangi atau menghapuskan diskriminasi yang dialami oleh para perempuan di sektor produksi. Prinsip ini mendorong perempuan untuk lebih aktif masuk ke wilayah publik dan menciptakan peningkatan pendapatan ekonomi yang lebih baik bagi perempuan.

Sedang WAD berpandangan bawah perempuan seharusnya tidak lagi dijadikan sebagai “penerima manfaat” yang pasif dari pembangunan tetapi mereka harus menjadi bagian integral dari pembangunan itu sendiri yang aktif menyuarakan berbagai program dan kepentingan-kepentingan mereka. Pandangan ini tidak lagi melihat perempuan pada konteks produksi mereka tetapi lebih kepada partisipasi mereka dalam kebijakan dan pembangunan. Itu sebabnya, dalam pandangan WAD perempuan bekerja yang dibayar ataupun tidak dibayar sama pentingnya di dalam proses pembangunan. Secara tegas, WAD ingin melawan budaya patriarki dan kapitalisme yang selalu berupaya menyisihkan perempuan bahkan untuk menyuarakan kepentingannya sendiri.

Terakhir adalah pandangan dari GAD yang menyatakan problem dari penindasan terhadap perempuan tidak hanya berada pada sektor reproduksi (domestik) tetapi juga pada bidang produktif (publik). Untuk mengatasi hal ini, GAD percaya harus adanya keterlibatan negara dalam menunjuang emansipasi perempuan; di mana negera bertugas untuk menyediakan jasa sosial yang selama ini disediakan oleh perempuan secara individual seperti penyediaan perawatan (kesehatan) dan masa depan bagi anak-anak. Melalui pandangan ini, GAD memposisikan sikap yang jelas terkait pentingnya posisi perempuan sebagai agen perubahan sosial; ia tidak hanya dianggap sebagai penerima bantuan pembangunan yang pasif, tetapi ia juga harus dilibatkan dalam penyelesaian masalah-masalah pembangunan (baca; yang sehari-hari berdampak langsung pada kehidupannya dan juga keluarganya).

Pelibatan mereka dapat dilakukan dengan berbagai metode yang demokratif, bukan sekedar penyuluhan-penyuluhan yang bersifat top down. Oleh karenanya dibutuhkan pembentukan solidaritas perempuan yang terorganisir, agar transpormasi sosial yang berkeadilan bagi kelompok perempuan, anak dan bahkan laki-laki dapat terwujud. Sebab dalam strategi GAD, letak persoalan bukan pada kelompok perempuan (secara tipologi biologis) tetapi pada bagaimana menghapuskan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan.    

Posisi Strategis dan Kendala

Saat ini posisi perempuan dalam dinamika politik-kekuasaan di Indonesia sangatlah strategis, khususnya dalam aspek elektoral dan gerakan-gerakan penggalangan suara. Jumlah pemilih perempuan pada Pemilu 2024 sebanyak 102.588.719 suara, lebih banyak jika dibandingkan jumlah pemilih laki-laki yang berjumlah 102.218.503 suara. Selain itu, pada tingkat legislatif kelompok perempuan juga memiliki Kaukus Perempuan yang biasa menjadi media/alat perjuangan dalam mendorong isu dan kepentingan-kepentingan perempuan dalam pembangunan.

Pada gerakan-gerakan penggalangan suara dan mobilisasi masa, biasanya kelompok perempuan lebih progresif. Gerakan politik “emak-emak” pada Pilpers 2019 lalu tentu masih segar dalam ingatan kita dan menjadi tanda bagaimana “emak-emak” aktif dalam penggalangan dana yang mencapai jutaan rupiah di setiap titik kampaye. Memang kelompok perempuan dianggap memiliki basis gerakan yang riil, lebih terogranisir dengan berbagai kegiatan yang sifatnya formal maupun informal seperti kelompok pengajian/perwiritan, kelompok arisan dan lain sebagainya. Harus diakui pada momen-momen kampaye, kelompok-kelompok ini paling sering didatangi oleh para politisi untuk mencari suara.

Hanya saja, posisi-posisi strategis tersebut belum dapat dimaksimalisasikan sebagai satu gerakan politik yang dapat menciptakan kebijakan-kebijakan yang responsif untuk semua. Kelompok perempuan justru lebih rentan terhadap serangan politik uang, dalam laporan Money Politics and Regression of Democracy: Women Voters Vulnerability in Transactional Politics dikatakan bahwa kerentanan tersebut disebabkan oleh minimnya pengetahuan soal regulasi pemilu dan edukasi politik yang membuat mereka menerima politik uang meski mengetahui perbuatan tersebut terlarang. Faktor lain yang membuat perempuan terlibat dalam pusaran uang adalah faktor ekenomi, hal ini dikarenakan uang senilai Rp. 50.000,- atau Rp. 100.000,- dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan dapur.  

Kendala lain adalah masih minimnya kelompok pemilih perempuan untuk memilih perempuan sebagai wakilnya di legilasi. Hal ini dapat dilihat dari 560 kursi di DPR-RI hanya 97 kursi yang diduduki oleh perempuan. Masih minimnya pilihan perempuan terhadap legislator perempuan juga disebabkan legislator perempuan belum menjadi prioritas bagi partai politik. Meski sudah ada kuota 30 persen kursi, namun 30 persen tersebut masih pada pemenuhan kuota (secara kuantitatif) belum pada rekrutmen yang berkualitas.

Penutup

Ini tentu bukan tentang perempuan atau laki-laki, tetapi ini tentang kebijakan yang berkeadilan dan responsif terhadap kebutuhan semua pihak. Perempuan selama ini hanya menjadi objek dan belum dilibatkan secara utuh. Suara mereka hanya dibutuhkan untuk kepentingan electoral tanpa mendengar kebutuhan mendasarnya. Tingginya masalah stunting di Indonesia misalnya, menjadi bukti bahwa politik dan kebijakan belum menyentuh kepentingan-kepentingan kelompok perempuan.

Padahal politik bisa dikatakan berkeadaban jika mampu memberikan perlindungan kepada perempuan secara utuh dan berkeadilan; sebab memberikan perlindungan kepada perempuan sama dengan memberi perlindungan bagi masa depan bangsa. Pada rahimnya akan lahir masa depan bangsa; pada pengetahuannya akan terbentuk karakter generasi penerus bangsa. Jangan sampai politik kita menjadi seperti Athena atau Perseus yang menjadikan Modusa sebagai senjata dan tameng untuk menaklukan musuh. Eh, seingatnya setiap harga cabai, minyak goreng, atau harga beras naik siapa yang paling dipusingkan? (*)  

Mendekati Hari ketiga Puluh

Agenda pembangunan berkelanjutan yang menempatkan isu lingkungan dalam pembangunan telah dimulai sejak tahun 1972 melalui Konferensi Stockholm. Melalui konferensi ini, negara-negara industri memulai pembicaraan dengan negara-negara berkembang tentang industri, pertumbuhan ekonomi, pencemaran lingkungan dan keberlangsungan hidup manusia. Konferensi ini dilaksanakan setelah adanya desakan dari berbagai pihak atas persoalan krisis lingkungan; tragedi minamata yang terjadi di Jepang pada tahun 1950 menjadi contoh nyata bagaimana krisis lingkungan memberikan dampak yang besar terhadap keberlangsungan hidup manusia.

Pemerintah Swedia kemudian berinisiatif untuk menyelenggarakan konferensi ini bekerjasama dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan mengangkat tema “Still Only One Earth”. Atas gelaran konfernsi tersebut, terdapat tiga aspek yang dapat dirasakan hingga saat ini yaitu; pertama, ditetapkannya tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Kedua, berdirinya lembaga Nations Environment Programme (UNEP). Ketiga, mulai dibangunnya kerjasama multilateral terkait isu lingkungan hidup. Di Indonesia, konferensi Stcokholm ini menjadi dasar ditetapkannya berbagai bentuk regulasi mulai dari Keppres Nomor 16 Tahun 1972 tentang Pembentukan Panitia Perumus dan Rencana Kerja Pemerintah di Bidang Pengembangan Lingkungan Hidup. Penerbitan TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, arah dan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan. Pendirian Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (MENPPLH) di tahun 1978 serta terbitnya UU Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Pokok-Pokok Perlindungan Lingkungan Hidup.

Pada perjalannya, Konferensi Stockholm terus diperingati dengan melaksanakan pertemuan antar negara setiap 10 tahun sekali. Dipertemuan Tahun 1972, tepatnya di dekade ketiga, diadakan pertemuan di Rio de Janeiro yang pada pertemuan ini sudah mulai membahas prinsip pembangunan berkelanjutan dengan mengedepankan isu climate change and biological diversity. Melalui pertemuan ini mulai disusun perencanaan pembangunan global yang -belakangan -terwujud dalam bentuk Millenium Development Goals (MDGs) yang sudah dilaksanakan dari tahun 2000-2015 dan berlanjut dengan bentuk Sustainable Development Goals (SDGs) yang dilaksanakan dari tahun 2015-2030.

Politik & Lingkungan 

Pasca Konferensi Stockholm dan Rio de Janeiro, upaya untuk menempatkan posisi lingkungan sebagai variabel utama yang harus dijaga dalam pembangunan belum bisa berjalan maksimal. Beberapa hanya menjadi catatan di atas kertas saja. Pemburukan terhadap krisis lingkungan tidak hanya dipengaruhi oleh aspek ekonomi saja, tetapi dibalik itu terdapat juga aspek politik. Para aktifis lingkungan sangat paham bahwa kegiatan politik dalam bentuk kebijakan dapat memberikan pengaruh bagi keberlanjutan lingkungan atau degradasi lingkungan. Penerbitan izin pengelolaan pertambangan, penerbitan izin pembukaan lahan hutan untuk kepentingan industri sawit dan lain sebagainya cenderung lebih banyak dilakukan di tahun-tahun politik, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat lokal. Bahkan jika kita katakan tahun 2023 ini adalah tahun politik, maka beberapa waktu yang lalu kita mendapatkan berita bahwa pemerintah membuka kembali izin ekspor pasir laut. Pada tingkat lokal, bentuk penerbitan izin ini banyak dilakukan oleh para incumbent yang daerahnya memiliki potensi tambang, hutan dan sawit.

Fakta-fakta ini tentu berbanding lurus dengan pengalaman kita yang hidup di wilayah perkotaan, tidak bisa dipungkirin bahwa titik-titik banjir menjadi lebih banyak, polusi udara tidak terkendalikan, aliran sungai yang mengalami penyempitan dan pendangkalan, pengelolaan air tanah dan distribusi ketersedian air bersih, belum lagi permasalahan-permasalahan teknis seperti pengelolaan sampah rumah tangga yang belum terselesaikan dengan baik.

Keseluruhan masalah tersebut tentu membutuhkan satu tindakan politik bersama baik oleh government dan civil society. Tindakan politik tersebut bisa saja dalam bentuk penguatan terhadap regulasi, penegakan hukum atas perusakan lingkungan, dan gerakan-gerakan pendidikan serta kampaye kesadaran lingkungan. Komitmen ini yang perlu untuk terus dihadirkan, mengingat gagasan tentang politik lingkungan masih sangat minim dikalangan elit politik kita. Lingkungan masih dipandang sebagai satu bentuk sumber daya yang harus diekplorasi tanpa memandang pentingnya menjaga keberlanjutannya bagi generasi mendatang.

Meski agenda pembangunan global telah masuk pada tahap Sustainable Development Goals namun gagasan tentang politik lingkungan hampir sama sekali tidak ada. Perhatikan saja baleho, flayer atau media-media promosi yang dimiliki oleh para elit politik selama kampaye, kebanyakan hanya memunculkan isu tentang pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi, pengembangan kewirausahaan dan UMKM, serta pembangunan infrastruktur. Padahal apalah arti pengentasan kemiskinan jika bencana banjir terus menghantui setiap hujan? Apalah arti pengembangan kewirausahaan dan UMKM jika krisis pangan akibat kerusakan lingkungan terus terjadi? Apalah arti pembangunan infrastruktur jika polusi udara yang dihasilkan dari kendaraan bermotor terus meningkat; bukankah emisi kendaraan bermotor berkontribusi sebesar 70% terhadap pencemaran Nitrogen Oksida, Karbon Monoksida, Sulfur Dioksida dan Partikulat di wilayah perkotaan?

Di Jerman, gagasan tentang politik lingkungan selama kampaye berhasil mempengaruhi kelompok pemilih pemula. Anak-anak muda di Jerman banyak memilih Partai Hijau karena partai ini membawa isu tentang climate change yang memang menjadi konsen banyak kelompok anak-anak muda di Jerman selain tentang digitalisasi. Dalam satu laporan jejak pendapat dikatakan bahwa 18% pemilih usia 16-24 tahun memilih Partai Hijau. Jumlah ini lebih besar dari partai mana pun dan membawa Partai Hijau berhasil masuk ke parlement Jerman. Di tempat kita, rasa-rasanya tidak ada partai yang secara spesifik atau bahkan general berani membawa isu lingkungan di dalam kampayenya. Lalu, apakah kita harus juga mendirikan “Partai Hijau” agar isu dan agenda tentang perlindungan lingkungan bisa menjadi prioritas utama dalam politik kita?

Kembali Ke Tradisi

Di Indonesia, ada banyak tradisi kebudayaan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan. Ia biasanya berupa ritual adat yang ditujukan untuk menghormati alam semesta. Ada juga yang berbentuk pelarangan-pelarangan dalam mengekspolarsi sumber daya alam dalam waktu tertentu seperti; tradisi sasi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Maluku dan Papua. Praktik yang sama di beberapa wilayah Sumatera diistilahkan dengan “lubuk larangan”.

Tradisi-tradisi ini sebenarnya adalah bentuk kearifan lokal bangsa kita yang harus dijaga secara sosial-politik. Secara sosial, ia harus diturun-temurunkan ke generasi berikutnya melalui sosialisasi dan keterlibatan kelompok pemuda dalam pelaksanaan tradisi. Secara politik, ia harus dikawal dengan berbagai bentuk regulasi dan komitment politik. Hal ini penting dilakukan karena praktik tradisi ini pada akhirnya adalah merupakan upaya menjaga siklus ekosistem sumber daya alam. Sehingga yang terjadi bukan eksplorasi tetapi sustainability.

Satu di antara bentuk tradisi ini diabadikan dalam bentuk film dokumenter oleh seorang sineas asal Sumut bernama Andi Hutagalung. Film dokumenter ini berjudul; Jamu Laut, yang berkisah tentang upacara doa yang dilakukan oleh masyarakat nelayan di wilayah pesisir timur Serdang Bedagai. Upacara doa ini dilaksanakan dengan tujuan agar masyarakat nelayan di jauhkan dari segala marabahaya dan juga sebagai simbol manusia menghormati manusia, manusia menghormati alam, sehingga Allah Swt memberikan berkah kepada para nelayan di wilayah pesisir timur Serdang Bedagai.

Film Jamu Laut ini nantinya akan diputar dan menjadi bahan diskusi menyambut  Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diselenggarakan oleh Badan Pengurus Kota Orang Indonesia (BPK-Oi) Medan dan Walhi Sumut pada Hari Jumat Tanggal 9 Juni 2023 Pukul 19.00 Wib di Cafe Parkiran Kopi Sepada Jalan KLP VII Komplek Rispa IV No 17 Gedung Johor Medan. Tidak hanya film Jamu Laut, Andi Hutagalung dan temanya Tedy Wahyudy Pasaribu juga akan menampilkan trailer film The King’s Territory yang sedang mereka garap bersama. Film The King’s Territory ini akan mengangkat cerita tentang Konflik Harimau dan Manusia di wilayah Hutan Sumatera Utara yang telah memamakan banyak korban. Film ini berupaya mencari jawaban yang tepat atas terjadinya konflik antar dua makhluk hidup ini. Dan tentu, ini adalah bagian kecil dari masalah krisis lingkungan yang berdampak pada keberlangsungan ekosistem bumi (baca; manusia, satwa, air dan tumbuhan).

Penutup

Manusia dan lingkungan pada dasarnya membentuk satu struktur ketergantungan yang tidak dapat dielakkan. Lester R Brown dalam bukunya berjudul; Hari Yang Kedua Puluh Sembilan, menggambarkan dengan detail struktur ketergantungan ini dengan menyebutkan bahwa; ikan di laut adalah sumber protein bagi manusia, hutan sebagai penyedia kertas untuk media informasi dan pendidikan manusia; bahkan padang rumput yang selama ini terlihat biasa saja, ia adalah sumber protein bagi manusia karena menjadi sumber pangan bagi sapi yang menghasilkan susu dan keju. Brown mengatakan bentuk struktur ketergantungan harus dikelola dengan baik agar dapat memberikan dampak positif. Sebab bagaimanapun, ekosistem lingkungan juga mempunyai jeda waktu untuk bisa memulihkan diri; yang dalam istilah Brown disebut sebagai Daya Dukung.

Oleh karenanya, mendiskusikan politik, tradisi dan keberlanjutan lingkungan yang diantarkan dalam satu bingkai film dokumenter tentu menjadi hal yang menarik. Setidaknya ini bisa menjadi enter point bagi pembentukan diskursus publik bahwa kita mempunyai tradisi (baik dalam bentuk sasi, lubuk larangan atau upacara seperti jamu laut) yang dapat menjadi satu mekanisme bagi ekosistem untuk “memulihkan dirinya”, sehingga prinsip sustainability bisa terwujud. Sebab, jika Brown pada tahun 1982 sudah menuliskan buku dengan Judul Hari Yang Kedua Puluh Sembilan, berarti pada tahun 2023 ini kita sudah mendekati Hari Ketiga Puluh, yang dalam konsepsi tertentu sudah mendekati krisis kepunahan. (*)

Oleh: Mujahiddin

Doktor Studi Pembangunan dan Dosen di FISIP UMSU

Klaim Reputasi

Clifford Geertz; nama ini sangat dikenal di kalangan antropolog dan sosiolog. Jika ada seorang antropolog atau sosiolog yang tak kenal dengan nama ini maka harus diragukan ke-antroan-nya dan ke-sosioan-nya. Mengapa demikian? Karena berbicara tentang Clifford Geertz kita akan berbicara tentang karya-karyanya yang banyak membahas tentang dinamika sosial-budaya masyarakat Indonesia pada fase-fase awal terjadinya proses modernisasi. Di bawah naungan Massachusetts Institute of Technology, and Center for Internasional Studies; program penelitian tentang Indonesia dibagi ke dalam dua  kelompok yang bekerja secara interdisipliner (economic and political development program), di mana Geertz masuk ke dalam anggota tim Indonesia Field yang dipimpin oleh Rufus Hendon. Projek ini pada akhirnya menghasilkan satu laporan penelitian Geertz yang sangat dikenal dengan Judul Agricultural Involution: the process of ecological change in Indonesia (1964). Karya ini kemudian menjadi karya sejarah yang mampu menjelaskan kondisi sosial ekonomi masyarakat Pulau Jawa dan kesulitan-kesulitan pemerintah Indonesia dalam memulai lepas landas ke pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustained economic growth).

Menariknya, melalui projek penelitian tersebut, Geertz justru berhasil mengumpulkan banyak data yang tidak hanya berkaitan dengan dampak dari dinamika kehidupan masyarakat petani di Pulau Jawa, tetapi lebih dari itu. Melalui penelitian yang panjang di Indonesia (1952-1959) Geertz menemukan banyak data empiris tentang kehidupan sosial-budaya masyarakat Indonesia (khususnya Jawa-Bali) yang kemudian disusun ke dalam berbagai buku seperti; The Religion of Java (1960), Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in Two Indonesia Towns (1963), Kinship in Bali (1975), dan Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali (1980). Hingga saat ini karya Geertz masih dipakai sebagai basis bagi para antropolog dan sosiolog dalam menganalisis sejarah dinamika sosial masyarakat Jawa-Bali. BahkanThe Religion of Java dapat menjadi pegangan bagi banyak ahli politik untuk melihat peta relasi-kuasa dalam penyusunan aktor-aktor politik yang akan bertarung pada Pilkada dan juga Pilpres.

Data dan Reputasi

Data penelitian yang benar tentu akan memberikan banyak pengaruh, ia dapat dijadikan sebagai landasan konsepsional bagi banyak hal mulai dari; menjelaskan sesuatu fenomena, merekayasanya hingga memprediksi segala kemungkinan yang akan terjadi setelahnya. Itu sebabnya ada istilah “garbage in, garbage out” di dalam prosedur pengambilan data penelitian. Isitilah ini mempertegas pentingnya kualitas data yang diambil, jika data yang diambil adalah sampah maka data yang dihasilkan juga akan menjadi sampah atau dengan istilah lain tidak memiliki makna.

Dengan kata lain, mutu atau kualitas data akan memberikan pengaruh pada reputasi hasil penelitian. Kemampuan mencari, memperdalam dan mengelola data penelitian inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama agar laporan penelitian yang dihasilkan bisa lebih berkualitas dan autentik. Sebab selama ini kita masih terjebak dengan bentuk Insularitas akademik; yaitu satu bentuk keabaian atau ketidakpedulian terhadap ide, gagasan, budaya dan persoalan-persoalan yang ada di luar dirinya. Bentuk insularitas akademik ini menurut Burhani (2023) dapat dilihat dari masih minimnya ilmuan Indonesia yang diakui reputasinya secara global dalam bidang Indonesian Studies (kajian tentang Indonesia).

Contoh nyata dari insularitas akademik seperti banyak teori ilmu sosial yang lahir dari studi tentang Indonesia, tetapi bukan hasil karya ilmuwan Indonesia. Teori tentang Dualitas Ekonomi (perekonomian ganda) yang memperlihatkan dikotomi antara ekonomi modern dan ekonomi tradisional; justru dihasilkan oleh JH Booke. Dan hingga sekarang konsepsi Booke ini masih banyak dipakai untuk menjelaskan fenomena dualitas ekonomi di negara-negara berkembang kawasan Asia. Tidak hanya Booke, teori tentang Imagined Community dalam konsepsi nasionalisme Indonesia dan Asia Tenggara juga dihasilkan oleh Ben Anderson. Termasuk karya-karya Geertz yang banyak membicarakan tentang masyarakat Indonesia.

Tentu ada banyak variabel yang bisa ditempatkan dalam menjelaskan permasalahan ini. Beberapa orang percaya bahwa kondisi ini disebabkan oleh birokrasi akademik yang masih konservatif, ada yang berkeyakinan bahwa ini disebabkan budaya dan mental akademik yang masih bersifat feodal. Belum lagi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penghasilan rendah para akademikus, meski kampus -dalam banyak kasus -telah berubah menjadi industri pendidikan tetapi banyak dari akademikusnya justru dibayar di bawah UMR (Upah Minimum Regional). Jebakan ini semakin diperparah ketika prosedur administrasi dalam penelitian jauh lebih diutama dari pada produksi pengetahuan itu sendiri. Jadi wajar jika data yang dihasilkan tidak maksmimal karena jebakan-jebakan birokrasi administrasi penelitian masih begitu kuat.

Belakangan ada upaya untuk mengurangi jebakan birokrasi administrasi penelitian dengan membuat kebijakan penelitian yang berbasis pada luaran (out-put) berupa publikasi pada Jurnal Terindek di Sinta-2 atau Sinta-3. Pada beberapa kasus terdapat juga hasil penelitian yang harus dipublikasi pada Jurnal Internasional bereputasi yang terindeks pada Scopus. Kebijakan ini pada satu sisi mengurangi beban administrasi pelaporan, tetapi di sini lain kebijakan ini juga menimbulkan polekmik baru bagi para peneliti. Jadwal tunggu dan antrian yang panjang pada publikasi jurnal terkadang jauh lebih lama dibandingkan permintaan pelaporan luaran penelitian yang diharuskan selesai dalam jangka waktu satu tahun.

Belum lagi, beberapa draf jurnal hasil laporan penelitian ditolak oleh publisher jurnal hanya kerena ketidaksesuaian tema/topik pada jurnal, logika isi laporan penelitian yang tidak tepat antara latar belakang dan pembahasan. Kondisi ini menjadi tanda bahwa kemampuan menulis kita  belum sesuai dengan standart global sehingga beberapa dari kita melakukan vanity press; yaitu suatu bentuk penerbitan yang tidak mengedepankan kualitas tetapi lebih dikarenakan penulis membayar publikasi.

Tidak berhenti sampai di situ saja, untuk mencapai reputasi dari publikasi hasil penelitian; beberapa kampus membuat kebijakan yang mengharuskan mahasiswa Magister dan Doktoral untuk menulis pada jurnal internasional (baik yang terindeks Scopus maupun yang tidak) dengan mengandeng para dosen pembimbing/promotor sebagai penulis kedua, ketiga dan keempat. Tentunya dengan menggandeng para dosen pembimbing/promotor pada publikasi jurnal maka secara otomatis para akademisi tersebut mendapatkan efek peningkatan jumlah publikasi pada data base mereka dan juga data base universitas. Kondisi ini tentu menguntungkan bagi universitas untuk menaikan reting publikasi internasional mereka sehingga kelompok akademisi yang “malas” melalukan penelitian dan penulisan jurnal dapat “menumpangkan” kewajiban mereka kepada kelompok mahasiswa yang hendak memperoleh gelar master dan doktor di universitas tersebut.

Yang Barat

Pasca perang dunia kedua, kapitalisme barat (baca; Eropa dan Amerika) berupaya untuk  terus-menerus mendisain dan mengintervensi bentuk pengetahuan masyarakat dunia, khususnya negara-negara dunia ketiga. Kebenaran atas pengetahuan seolah-olah hanya datang dari mereka; jika ingin menjadi negara maju dan modern maka ikutilah strategi mereka termasuk dalam menyusun ilmu pengetahuan. Universitas didirikan, kurikulum disusun sedemikian rupa dengan mengikuti kehendak modernis; yaitu menyandarkan filsafat logika dan filsafat etika pada standart kapitalisme barat.

Mewajibkan publikasi internasional pada jurnal terindeks scopus menjadi satu contoh kekinian bahwa kita masih bersandar dengan apa yang menjadi standart barat. Seolah reputasi intelektualitas dari karya penelitian akan mendapatkan pengakuan jika berhasil publis pada jurnal internasional yang diklasifikasikan bereputasi semisal pada jurnal-jurnal yang terindeks scopus. Padahal dalam beberapa kasus banyak jurnal yang terindeks scopus justru kebobolan karena salah melakukan validasi atas karya-karya tulis hasil dari replikasi. Itulah yang terekam dalam laporan investigas Harian Kompas yang berjudul; Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Ilmiah, di mana pada laporan tersebut dikatakan terdapat calon guru besar yang melakukan replikasi pada karya tulis skripsi atau tesis mahasiswa yang mereka bimbing.  

Belajar dari kasus-kasus ini tentu kita dapat menyimpulkan bahwa publisher jurnal yang “bereputasi” ternyata tidak secara utuh berhasil memproduksi karya-karya yang bereputasi. Institusi publisher mempunyai keterbatasan dalam melihat karya. Mereka hanya menilai karya secara verbatim berdasarkan kaidah-kaidah yang telah mereka tetapkan. Penilaian dengan cara verbatim ini tentu tidak dapat menemukan subtansi dari reputasi yang sesungguhnya, karena ia akan sangat bergantung pada nilai dan sikap pribadi seorang peneliti/akademisi. Menyandarkan reputasi hanya pada publisher jurnal tentu satu keselahan, sebab orang-orang seperti Greertz, Booke dan Anderson memiliki karya yang bermutu tanpa harus mempublikasinya pada jurnal yang bereputasi; kecuali jika mereka mau menjadi profesor di Indonesia, pasti akan ditanya apakah sudah ada publikasi pada jurnal terindeks scopus? Ah!  

Penutup

Januari 1992, seorang Serbia-Amerika bernama Steve Tesich menulis artikel berjudul “A Government of Lies” di majalah The Nation. Artikel ini membahas tentang skandal Pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Richard Nixon yang kemudian disebut Tesich dengan istilah “Sindrom Watergate”. Sejak kejadian skandal tersebut menurut Tesich, masyarakat Amerika Serikat mulai berlindung dari kebenaran. Setelah mundurnya Presidan Nixon dan diganti oleh Gerald Ford, masyarakat Amerika Serikat mulai memaafkan semua kejahatan yang telah dilakukan oleh Nixon. Hanya saja menurut Tesich, sikap memaafkan ini yang justru menjadikan masyarakat Amerika mulai menyamakan kebenaran dengan berita buruk sehingga mereka tidak menginginkan adanya berita buruk lagi meski itu adalah fakta kebenaran.

Rentetan peristiwa berikutnya juga terjadi, skandal penjualan senjata ke Iran yang dilakukan oleh Presiden Reagan tanpa persetujuan Senat dan sandiwara Perang Teluk Pertama, semakin mempertegas kenyataan bahwa banyak Masyarakat Amerika membutuhkan sensor pers untuk menutupi kebenaran yang mereka anggap perlu dengan alasan kepentingan nasional. Mereka hanya melihat apa yang dianggap mereka penting untuk dilihat tanpa memikirkan apa yang salah dengan hal tersebut. Rentetan perstiwa inilah yang kemudian menjadikan masyarakat Amerika memasuki fase baru yang kenal saat ini dengan istilah “post-truth”. Nah, anehnya kita saat ini justru menyandarkan pengakuan atas reputasi akademik kepada satu community yang justru paling gemar menyembunyikan kebenaran.

Seolah tanpa legitimasi Barat (Eropa-Amerika) reputasi kita tidak bisa menginternasional. Padahal bisa jadi, kumpulan artikel dari laporan penelitian kita justru bisa menjadi data base bagi mereka untuk melihat situasi sosial, politik dan ekonomi bangsa ini. Bukankah itu dapat menjadi satu ancaman bagi pertahanan kita? Tanpa membayar, mereka bisa mendapatkan data dinamika sosial masyarakat kita secara gratis. Ah, sukurnya beberapa data tersebut juga hasil replikasi dari laporan penelitian yang dilaksanakan dibalik meja. Dan mereka para pengelola jurnal yang (katanya) bereputasi itu ternyata bisa juga ditipu. Sial!  

Oleh: Mujahiddin,

Doktor Studi Pembangunan dan Dosen di Lingkungan FISIP UMSU

Jebakan Teknologi dan Jalan Reputasi Akademik

Beberapa waktu lalu, pada blog ini telah dipublis satu artikel berjudul HAMKA. Artikel tersebut pada dasarnya berupaya untuk melihat bentuk urgensi dari moral-intelektual yang merupakan bagian penting dari proses intelektualisme seseorang yang pada artikel tersebut digambarkan melalui sosok ulama karismatik bernama Hamka. Jika kita mengacu pada banyak tokoh intelektual muslim atau ulama-ulama besar Islam terdahulu, maka kita akan melihat keteguhan mereka dalam mencari ilmu pengetahuan dan menghasilkan karya-karya; yang pada saat ini dapat dikatagorikan sebagai karya yang monumental.

Tentu Hamka satu diantara beberapa tokoh tersebut, yang ditengah keterbatasan (baca; di dalam penjara) mampu menghasilkan satu karya monumental berupa tafsir Al-Qur’an yang diberi nama Tafsir Al-Azhar. Selain Hamka, ada beberapa ulama dan intelektual Muslim lainnya yang mampu menghasilkan karya dari dalam penjara, sebut saja misalnya Imam as-Sarakhasi yang menghasilkan kitab fiqih yang sangat lengkap dalam Mazhab Hanafi yang diberi nama Al-Mabsuth. Dalam satu sumber dikatakan bahwa karya ini tidak ditulis langsung oleh as-Sarakhasi, tetapi dilakukan dengan cara mendiktekan kepada murid-muridnya yang setiap waktu mengunjunginya di dalam penjara. Itu sebabnya kitab ini tidak mencantumkan catatan kepustakaan karena memang tidak merujuk pada literatur apapun dan juga pada waktu itu  sumber kepustakaan belum menjadi satu hal yang lazim.

Selain itu kita juga mengenal Ibnu Taimiyyah yang selama masa hidupnya mengalami dua belas kali dipenjara. Ibnu Taimiyyah tercatat banyak sekali menghasilkan kitab-kitab risalah yang ringkas dan kecil; satu karyanya yang terkenal adalah kitab Ar-Raddu ‘alā Al-Ikhnāi. Kitab ini adalah karya terakhir yang ia tulis sebelum wafat di dalam penjara. Satu tokoh lagi yang kita kenal adalah Sayyid Qutb. Selama dipenjara ia berhasil merampungkan kitab tafsir yang diberi nama Fī Dzilālil Qur’an. Tafsir ini dituliskan oleh Sayyid Qutb sebagai upayanya untuk mengingatkan kembali umat Islam agar tidak terlalu tunduk pada paham materialisme dan teknologi yang terus berkembang, yang memberikan dampak pada alfanya nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari.

Begitulah mereka, orang-orang terdahulu yang begitu tekun dalam mencari ilmu pengetahuan dan menyuarakan kebenaran dalam disiplin keilmuan yang mereka miliki meski pada saat di penjara sekalipun. Jika dilihat kondisi tersebut rasa-rasanya berbeda jauh dari saat ini, di tengah perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat, kita justru dihadapkan pada persoalan pragmatisme intelektual yang semakin akut. Jangankan untuk menghasilkan satu karya akademis yang monumental, untuk mencapai satu karya yang autentik –yang memiliki kebaharuan dari karya-karya sebelumnya –saja kita masih sulit. Bahkan tidak jarang kita terjebak pada persoalan teknis seperti melakukan sitasi agar tidak dituding common sense. 

Regulasi dan Jebakan Teknologi

Pada awal tahun kemarin, dunia kampus dihebohkan dengan adanya laporan pemberitaan dari Harian Kompas yang berjudul; Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Ilmiah. Laporan investigasi yang dilakukan oleh Harian Kompas tersebut sontak membuat dunia kampus berang. Seolah-olah tidak menerima realitas tersebut sebagai sebuah fakta sosial yang ada dan lebih memilih untuk bersembunyi dibalik istilah “okunum”. Benar memang, jika dilihat secara parsial tidak semua kelompok akademisi melakukan hal yang sama, beberapa masih memilih untuk menjaga reputasi dan idealisme akademiknya.

Satu bentuk reputasi akademik yang dapat diamati adalah hasil penelitian. Tentunya bagi perguruan tinggi hasil penelitian ini akan dilihat dari segi jumlah penelitian yang dihasilkan pertahun, kebaharuan dari temuan penelitian dan dampak yang dihasilkan bagi masyarakat. Hal yang sama juga berlaku bagi akademisi yang ada di dalam perguruan tinggi tersebut; tidak hanya keaktifannya dalam pelaksanaan penelitian setiap tahun tetapi juga menyangkut kebaharuan dari temuan penelitian yang dilaksanakan. Jika hal ini merupakan satu gambaran ideal dari reputasi akademik -baik bagi perguruan tinggi maupun bagi kelompok akademisi di dalamnya -maka harusnya kita sudah dengan mudah menemukan karya-karya terbaik (jika tidak ingin mengkatagorikannya sebagai karya monumental) dari hasil penelitian yang diproduksi oleh perguruan tinggi.

Namun apakah kita telah menemukan hal tersebut? Jika iya, berapa jumlahnya? Jika belum, jangan-jangan benar kritik yang disampaikan oleh banyak orang bahwa penelitian di perguruan tinggi hanya menjadi tumpukan dokumen?  Tentu ini bukan hanya soal mental para akademisi saja dalam mengelola peta jalan dan rencana penelitiannya tetapi juga terkait dengan iklim riset perguruan tinggi dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mau tidak mau harus diakmodir oleh perguruan tinggi.

Misalnya pada tahun 2012 lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan mewajibkan publikasi skripsi, tesis dan disertasi sebagai syarat kelulusan mahasiswa. Celakanya, ketika kementerian memprioritaskan publikasi dalam bentuk jurnal bukan dalam bentuk open access repositori maka yang terjadi adalah akses repositori untuk karya seperti skripsi, tesis dan disertasi dikunci oleh pihak universitas. Jikapun dibuka biasanya hanya pada bagian pendahuluan atau hingga metode penelitian sedangkan bab hasil penelitian dan pembahasan tidak dibuka bebas. Liauw Toong Tjiek pada tahun 2017 lalu menuliskan laporan berjudul “A Different Shade of Green: A Survey of Indonesia Higher Education Institutional Repositories”, yang mengungkapkan bahwa dari 52 sampel repositori universitas di Indonesia, hanya seperempatnya saja (26%) yang memberikan akses penuh untuk karya akademik mahasiswa itupun belum tentu seluruh jenis dokumen.

Pilihan untuk menutup akses repositori ini lebih kepada alasan kekawatiran akan terjadinya self plagiarisme (baca; penjiplakan karya sendiri). Hal ini dikarenakan pada aturan dan panduan editorial jurnal ilmiah, biasanya pengelola jurnal wajib melakukan uji indeks kemiripan (similarity check) melalui Aplikasi Turnitin dengan tingkat kemiripan maksimal 15% sampai 25%. Sehingga demi memfasilitasi kewajiban ini, banyak repositori universitas terpaksa dikunci agar tidak terditeksi sistem pengecekan plagiasi.

Padahal, karya akademik sebut saja setingkat thesis dan disertasi dapat menjadi rujukan yang sangat penting dalam pengumpulan data sekunder khususnya dalam penyusunan gap problem research yang hendak diperjelas. Sebab tidak semua publikasi pada artikel jurnal memaparkan data yang utuh pada hasil peneltiiannya. Keterbatasan jumlah halaman tentu menjadi faktor teknis untuk kasus ini. Belum lagi tidak semua jurnal dikelola secara baik, masih terdapat jurnal yang secara ‘serampangan’ mempublis artikel dengan tidak memperhatikan EYD yang benar, alur pikir argument ilmiah dan logika data yang terkadang tidak tepat. Hal lainnya adalah tidak semua bidang research tercover oleh lembaga pengelola jurnal sehingga masih ada keterbatasan data untuk tema-tema penelitian tertentu.

Ketidak pahaman terkait perbedaan antara plagiasi dan similarity pada sistem open access menjadikan kita terjebak dalam perkembangan teknologi yang seharusnya dapat menjadi fasilitas intelektual yang mendukung dalam menghasilkan karya-karya terbaik. Belajar pada dinamika global, repositori dikatagorikan sebagai tempat pengarsipan bukan sebagai tempat publikasi sehingga jika ada kesamaan data yang dihasilkan oleh satu draf artikel jurnal dengan sumber yang berasal dari repositori maka hal tersebut tidak dianggap sebagai plagiasi. Contoh ini dapat dilihat di Inggris, melalui Perpustakaan Britania Raya mereka mengindeks disertasi doktor dari seluruh perguruan tinggi Inggris yang kini mencapai lebih dari 600.000 dalam suatu repositori bernama E-Theses Online Service (EThOS).

Penutup

Tidak hanya berkaitan dengan regulasi dan sistem riset nasional, tentu ada banyak variabel yang dapat dijadikan penyebab terhambatnya para akademisi dalam melahirkan karya-karya monumental. Secara personal kondisi ini bisa juga ditandai dengan ketidak konsistenan para akademisi dalam menentukan arah jalan penelitiannya yang dapat mendukung pembentukan disiplin keilmuan atau kepakaran. Banyak dari kita meninggalkan tema utama di dalam thesis maupun disertasi yang telah kita pilih dan mencari tema-tema baru yang diangap lebih populer sehingga kita tidak menemukan satu bentuk konsistensi kepakaran. Itu sebabnya karya-karya yang dihasilkan terkesan hanya memuat data-data yang ditempelkan saja tanpa diikuti dengan analisis teoritis dan empiris yang mendalam. Konsistensi ini yang sebenarnya disebut sebagai sebuah ketekunan dalam mencari ilmu pengetahuan.

Ketekunan tidak hanya diartikan sebagai usaha terus menerus, tetapi dibalik usaha terus menerus itu ada suatu upaya pendalaman dalam mencari kebaharuan atas suatu disiplin ilmu pengetahuan. Jika kita sudah mencapai satu bentuk ketekunan tersebut maka kemudian kita bisa masuk pada tahap dialektika pengetahuan. Di mana pikiran kita mampu untuk menyusun formulasi tesis, anti-tesis dan sintesis. Apakah cukup sampai di situ? Tentu saja tidak. Untuk dapat memulainya kita harus tegas memilih posisi paradigmatik kita dalam melihat satu realitas; apakah berada pada wilayah positivisme, konstruktivisme, pragmatisme, subjektivisme atau kritis.

Bagi para akademisi sosial, posisi ini menjadi sangat penting karena ia akan memberikan pengaruh terkait cara pandang dalam melihat realitas sosial yang ada. Jangan sampai kita mengalami kesalahan mendasar dalam hal ini, berupaya masuk dalam paradigma kritis tetapi analisis teori yang dipakai justru merupakan bagian dari turunan paradigma positivisme. Kondisi  ini masih sering ditemui misalnya analisis teori menggunakan pandangan Durkheim tetapi metode pengumpulan data menggunakan pendekatan fenomenologi. Tentu ini menjadi hal yang harus kita koreksi bersama secara terus menurus agar “ketekunan intelektual” bisa tumbuh secara lebih baik, sehingga jangan ada lagi “joki” di antara kita. (*)

Oleh: Mujahiddin

Dosen FISIP UMSU dan Doktor Pada Bidang Studi Pembangunan

HAMKA

HAMKA; begitu nama ini disebutkan maka sebagian besar orang Indonesia akan mengingat seorang ulama karismatik yang bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Nama HAMKA sendiri adalah akronim dari nama asli tersebut. Tidak hanya dikenal sebagai ulama yang karismatik, Hamka juga sering diposisikan sebagai filsuf dan sastrawan. Latar belakang pekerjaannya sebagai wartawan, penulis dan pengajar serta pengalaman perjalananya dalam menuntut ilmu pengetahuan, rasa-rasanya wajar jika Hamka mempunyai seluruh kemampuan tersebut.

Bagi pencinta sastra, kisah Tenggelamnya Kapar Van Der Wijck tentu dapat dijadikan dasar penilaian tentang bagaimana kedalaman karya sastra seorang Hamka, dialog yang dimainkan antara Zainuddin dan Hayati dalam kisah tersebut adalah dialog dengan kualitas sastra yang dalam. Tidak salah jika pada saat itu, kisah Tenggelamnya Kapar Van Der Wijck mampu membuat Koran Pedoman Masyarakat laku keras dan ditunggu oleh setiap orang. Satu karya sastra lagi yang tidak bisa dilupakan dari Hamka adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah. Kedua karya sastra ini telah dibukukan dan diadaptasi ke dalam film layar lebar.

Ada hal yang menarik dari balik karya-karya sastra ini, pada Film Buya Hamka yang baru liris pada 19 April 2023 lalu, Hamka dalam dialognya dengan sang istri mengatakan bahwa sastra (baca; dalam bentuk tulisan) dapat dijadikan alat untuk berdakwah. Banyangkan pada saat itu, Hamka telah berpikir tentang bentuk media alternatif dalam berdakwah; bahkan karyanya yang berjudul Tasawuf Modern menjadi satu media dakwah yang mengingatkan para ulama sufi pada masa itu untuk tidak memandang kaku tasawuf. Melalui karya ini, Hamka berhasil menjembatani fase baru dalam dasar-dasar sufisme di Indonesia.

Moral-Intelektual

Itulah Hamka, ia tidak hanya besar dalam karya-karyanya tetapi keyakinan yang teguh terhadap Allah membuat Moral-Intelektualnya menjadi begitu anggun. Keikhlasnya dalam membesarkan Muhammadiyah, sikapnya yang tegas terhadap NIPPON Jepang dan perjuangan dalam melawan Penjajahan Belanda adalah bukti autentik dari kuatnya Moral-Intelektual Hamka; yang pada fase-fase itu harus menghadapi berbagai bentuk fitnah atas dirinya. Tidak ada dendam dalam diri Hamka, meski dipenjara oleh Rezim Orde Lama, tapi Hamka tetap ikhlas dan bersedia untuk menjadi imam solat bagi jenazah Soekarno. Hamka justru mengambil hikmah dari pemenjaraanya selama dua tahun empat bulan tersebut; baginya kondisi tersebut harus disukuri karena dengan dipenjara ia dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al-Quran 30 Juz yang kemudian dikenal sebagai Tafsir Al-Azhar.

Tidak hanya terhadap Soekarno, rasa dendam Hamka terhadap sastrawan Pramoedya Ananta Toer juga tidak ada; meski Pram melalui Harian Bintang Timur, menuding karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapar Van Der Wijck sebagai hasil plagiat dari Sous les Tilleuls karya pengarang Perancis Jean-Baptiste Alphonse Karr. Namun pada satu waktu, Hamka kedatangan tamu seorang perempuan Jawa yang bernama Astuti yaitu anak perempuan Pram. Astuti membawa seorang laki-laki Tionghoa dan meminta Hamka untuk membimbing sang kekasih (baca; calon suaminya) belajar dan memeluk agama Islam. Pada waktu itu, Astuti mengatakan bahwa sang ayah tidak menyetujui jika ia menikah dengan laki-laki yang berbeda agama. Tanpa ragu, Hamka menyetujui permintaan Astuti dan membimbing calon menantu Pram itu membaca dua kalimat syahadat. Pada satu laporan dikatakan bahwa alasan Pram mengutus calon menantunya itu kepada Hamka untuk belajar Islam karena menurutnya Hakma merupakan sosok yang tepat untuk belajar Islam dan tauhid.

Dua kisah ini menjadi tanda keluasan sikap dan pandangan Hamka yang dibentuk dari moral-intelektualitasnya. Hamka berkeyakinan bahwa orang yang berakal akan luas pengetahuannya dan luas keimanannya. Keyakinan itu diucapkan Hamka dengan istilah; “Semakin banyak ilmu semakin lapang hidup, semakin kurang ilmu semakin sempit hidup,” dan “orang berakal hidup untuk masyarakat, bukan buat dirinya sendiri.” Itulah yang tergambar dalam tindak-perilaku Hamka, ia menjadi ulama yang konsisten dalam ucapan dan perbuatan. Di sini, Hamka berhasil memberikan contoh nyata dari konsistensi moral-intelektual seorang muslim.

Melihat pribadi Hamka tersebut, tentu kita harus menyakinin bahwa tujuan akhir dari sebuah intelektualitas adalah kebersihan hati. Mengutip Al-Quran Surat Al-Hajj Ayat 54 yang menjelaskan; Wa liya’lamallażīna ụtul-‘ilma annahul-ḥaqqu mir rabbika fa yu`minụ bihī fa tukhbita lahụ qulụbuhum, wa innallāha lahādillażīna āmanū ilā ṣirāṭim mustaqīm. Ayat ini mempertegas bahwa kebenaran harus dicari dan dicapai dengan jalan ilmu pengetahuan. Hanya saja, ilmu tersebut tidak ada gunanya jika tidak ditujukan untuk membangun fa yu`minụ bihī (baca; yaitu beriman kepada Allah), di sini melekat konsepsi yang menjelaskan apa artinya berilmu jika tidak beriman pada tuhan. Ilmu yang tidak beriman pada tuhan akan menjadi ilmu yang liar, ilmu yang akan menjerumuskan pada kerusakan. Namun ilmu dan iman saja tidak-lah cukup, karena masih ada satu komponen yang harus dituju dalam perjalanan intelektual yang terakhir yaitu fa tukhbita lahụ qulụbuhum (baca; hati yang menjadi bersih dan jernih). Disinilah kebijakansanaan seorang intelektual akan terlihat, apakah ia akan menjadi pribadi yang rendah hati, tidak sombong, jauh dari sikap hasad, dengki, iri dan takabur atau sebaliknya. Puncak dari keseluruhan rangkaian ini adalah sikap tawadhu yang selalu optimis terhadap takdir tuhan dan harmonis dalam hubungan dengan Allah dan juga manusia.

Penutup

Menjelang akhir Ramadhan kemarin, warga Persyarikatan Muhammadiyah dihadapkan dengan polemik adanya komentar ancaman pembunuhan dari peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang berinisial AP Hasanuddin kepada Jemaah Muhammadiyah. Ada banyak tanggapan dan komentar yang diberikan atas polemik tersebut dan saat ini sudah masuk pada tahapan proses hukum. Saya sebagai warga Muhammadiyah dan orang yang tumbuh dalam kerangka kurikulum intelektual Muhammadiyah tentu sangat menyangkan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh peneliti BRIN tersebut.

Rasa-rasanya, oknum tersebut tidaklah memahami secara mendalam Persyarikatan Muhammadiyah baik secara historis maupun kekinian. Lebih disayangkan lagi, pengakuan oknum tersebut saat diperiksa di Satreskrim Polres Jombang pada Selasa (25/4/2023) mengatakan bahwa komentar yang dituliskan pada media sosial Facebook tersebut adalah bentuk emosi sesaat dan tidak berniat menjelekkan Muhammadiyah. Pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah pantas perilaku tersebut –baik secara sadar maupun emosional –dilakukan oleh seorang peneliti yang bekerja di badan riset negara?

Pertanyaan ini tentu tidak hanya diajukan dalam kasus ini saja, tetapi juga harus diajukan secara lebih mendalam untuk kita semua yang mengaku sebagai peneliti dan intelektual; baik yang bekerja di lembaga penelitian maupun di berbagai perguruan tinggi. Sehingga kita bisa mendapatkan satu bentuk refleksi atas moral-intelektual yang sudah kita miliki sebagai bagian dari anak-bangsa. Jangan-jangan intelektualitas kita masih sebatas pada upaya pencarian kebenaran atas ilmu-pengetahuan? Belum sampai pada tahap akhir yang disebut sebagai fa tukhbita lahụ qulụbuhum.

Pada titik inilah kita membutuhkan sosok seorang Hamka, dan para peneliti –baik yang ada di BRIN –harus mulai memahami urgensi dari kebijaksanaan pengetahuan. Bukankah Hamka pernah mengatakan; “Orang beradab pasti pandai menghormati keyakinan orang lain, walaupun dia sendiri tidak sesuai dengan keyakinan itu.” Ya, sekali lagi kita harus banyak belajar dari Hamka, soerang Buya bagi banyak anak bangsa. (*)

Oleh: Mujahiddin

Doktor Pada Bidang Studi Pembangunan dan Dosen di FISIP UMSU

Pertemuan Dua Siklus Di Tahun Politik

Dalam kajian sosiologi perubahan sosial, kita mengenal teori lingkaran sejarah. Teori ini beragument bahwa perubahan sosial yang terjadi saat ini adalah sebuah bentuk siklus atau lingkaran sejarah yang selalu berulang bukan berbentuk garis lurus. Dasar argument ini menjadikan Teori Lingkaran Sejarah secara subtantif meninggalkan analogi pertumbuhan organik dari kelompok evolusionis yang memandang perubahan sosial dan sejarah bergerak menurut garis lulur dan cenderung terus naik.

Ada banyak tokoh yang mempelopori teori ini dari era klasik hingga modern, dan hadir dari berbagai cabang keilmuan seperti; filsafat, ekonomi, sosiologi dan politik. Di antaranya Aristoteles, Herodutus, Polyhius, Ibnu Kaldun, Vico, Danilevsky, Spengler, Toynbee, Vilfredo Pareto dan Pitirim Sorokin. Semua tokoh memiliki pandangan yang sama bahwa tidak ada sesuatu yang baru di dunia karena sejarah mengalami pengulangan konstan. Namun argumentasi dari teori ini muncul pertama kali dari Aristoteles yang mengungkapkan; “sesuatu yang telah ada adalah sesuatu yang akan ada; sesuatu yang telah dilakukan adalah sesuatu yang akan dilakukan; dan tak sesuatu yang baru di dunia,”. Baca lebih lanjut