Klaim Reputasi

Clifford Geertz; nama ini sangat dikenal di kalangan antropolog dan sosiolog. Jika ada seorang antropolog atau sosiolog yang tak kenal dengan nama ini maka harus diragukan ke-antroan-nya dan ke-sosioan-nya. Mengapa demikian? Karena berbicara tentang Clifford Geertz kita akan berbicara tentang karya-karyanya yang banyak membahas tentang dinamika sosial-budaya masyarakat Indonesia pada fase-fase awal terjadinya proses modernisasi. Di bawah naungan Massachusetts Institute of Technology, and Center for Internasional Studies; program penelitian tentang Indonesia dibagi ke dalam dua  kelompok yang bekerja secara interdisipliner (economic and political development program), di mana Geertz masuk ke dalam anggota tim Indonesia Field yang dipimpin oleh Rufus Hendon. Projek ini pada akhirnya menghasilkan satu laporan penelitian Geertz yang sangat dikenal dengan Judul Agricultural Involution: the process of ecological change in Indonesia (1964). Karya ini kemudian menjadi karya sejarah yang mampu menjelaskan kondisi sosial ekonomi masyarakat Pulau Jawa dan kesulitan-kesulitan pemerintah Indonesia dalam memulai lepas landas ke pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustained economic growth).

Menariknya, melalui projek penelitian tersebut, Geertz justru berhasil mengumpulkan banyak data yang tidak hanya berkaitan dengan dampak dari dinamika kehidupan masyarakat petani di Pulau Jawa, tetapi lebih dari itu. Melalui penelitian yang panjang di Indonesia (1952-1959) Geertz menemukan banyak data empiris tentang kehidupan sosial-budaya masyarakat Indonesia (khususnya Jawa-Bali) yang kemudian disusun ke dalam berbagai buku seperti; The Religion of Java (1960), Peddlers and Princes: Social Development and Economic Change in Two Indonesia Towns (1963), Kinship in Bali (1975), dan Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali (1980). Hingga saat ini karya Geertz masih dipakai sebagai basis bagi para antropolog dan sosiolog dalam menganalisis sejarah dinamika sosial masyarakat Jawa-Bali. BahkanThe Religion of Java dapat menjadi pegangan bagi banyak ahli politik untuk melihat peta relasi-kuasa dalam penyusunan aktor-aktor politik yang akan bertarung pada Pilkada dan juga Pilpres.

Data dan Reputasi

Data penelitian yang benar tentu akan memberikan banyak pengaruh, ia dapat dijadikan sebagai landasan konsepsional bagi banyak hal mulai dari; menjelaskan sesuatu fenomena, merekayasanya hingga memprediksi segala kemungkinan yang akan terjadi setelahnya. Itu sebabnya ada istilah “garbage in, garbage out” di dalam prosedur pengambilan data penelitian. Isitilah ini mempertegas pentingnya kualitas data yang diambil, jika data yang diambil adalah sampah maka data yang dihasilkan juga akan menjadi sampah atau dengan istilah lain tidak memiliki makna.

Dengan kata lain, mutu atau kualitas data akan memberikan pengaruh pada reputasi hasil penelitian. Kemampuan mencari, memperdalam dan mengelola data penelitian inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita bersama agar laporan penelitian yang dihasilkan bisa lebih berkualitas dan autentik. Sebab selama ini kita masih terjebak dengan bentuk Insularitas akademik; yaitu satu bentuk keabaian atau ketidakpedulian terhadap ide, gagasan, budaya dan persoalan-persoalan yang ada di luar dirinya. Bentuk insularitas akademik ini menurut Burhani (2023) dapat dilihat dari masih minimnya ilmuan Indonesia yang diakui reputasinya secara global dalam bidang Indonesian Studies (kajian tentang Indonesia).

Contoh nyata dari insularitas akademik seperti banyak teori ilmu sosial yang lahir dari studi tentang Indonesia, tetapi bukan hasil karya ilmuwan Indonesia. Teori tentang Dualitas Ekonomi (perekonomian ganda) yang memperlihatkan dikotomi antara ekonomi modern dan ekonomi tradisional; justru dihasilkan oleh JH Booke. Dan hingga sekarang konsepsi Booke ini masih banyak dipakai untuk menjelaskan fenomena dualitas ekonomi di negara-negara berkembang kawasan Asia. Tidak hanya Booke, teori tentang Imagined Community dalam konsepsi nasionalisme Indonesia dan Asia Tenggara juga dihasilkan oleh Ben Anderson. Termasuk karya-karya Geertz yang banyak membicarakan tentang masyarakat Indonesia.

Tentu ada banyak variabel yang bisa ditempatkan dalam menjelaskan permasalahan ini. Beberapa orang percaya bahwa kondisi ini disebabkan oleh birokrasi akademik yang masih konservatif, ada yang berkeyakinan bahwa ini disebabkan budaya dan mental akademik yang masih bersifat feodal. Belum lagi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penghasilan rendah para akademikus, meski kampus -dalam banyak kasus -telah berubah menjadi industri pendidikan tetapi banyak dari akademikusnya justru dibayar di bawah UMR (Upah Minimum Regional). Jebakan ini semakin diperparah ketika prosedur administrasi dalam penelitian jauh lebih diutama dari pada produksi pengetahuan itu sendiri. Jadi wajar jika data yang dihasilkan tidak maksmimal karena jebakan-jebakan birokrasi administrasi penelitian masih begitu kuat.

Belakangan ada upaya untuk mengurangi jebakan birokrasi administrasi penelitian dengan membuat kebijakan penelitian yang berbasis pada luaran (out-put) berupa publikasi pada Jurnal Terindek di Sinta-2 atau Sinta-3. Pada beberapa kasus terdapat juga hasil penelitian yang harus dipublikasi pada Jurnal Internasional bereputasi yang terindeks pada Scopus. Kebijakan ini pada satu sisi mengurangi beban administrasi pelaporan, tetapi di sini lain kebijakan ini juga menimbulkan polekmik baru bagi para peneliti. Jadwal tunggu dan antrian yang panjang pada publikasi jurnal terkadang jauh lebih lama dibandingkan permintaan pelaporan luaran penelitian yang diharuskan selesai dalam jangka waktu satu tahun.

Belum lagi, beberapa draf jurnal hasil laporan penelitian ditolak oleh publisher jurnal hanya kerena ketidaksesuaian tema/topik pada jurnal, logika isi laporan penelitian yang tidak tepat antara latar belakang dan pembahasan. Kondisi ini menjadi tanda bahwa kemampuan menulis kita  belum sesuai dengan standart global sehingga beberapa dari kita melakukan vanity press; yaitu suatu bentuk penerbitan yang tidak mengedepankan kualitas tetapi lebih dikarenakan penulis membayar publikasi.

Tidak berhenti sampai di situ saja, untuk mencapai reputasi dari publikasi hasil penelitian; beberapa kampus membuat kebijakan yang mengharuskan mahasiswa Magister dan Doktoral untuk menulis pada jurnal internasional (baik yang terindeks Scopus maupun yang tidak) dengan mengandeng para dosen pembimbing/promotor sebagai penulis kedua, ketiga dan keempat. Tentunya dengan menggandeng para dosen pembimbing/promotor pada publikasi jurnal maka secara otomatis para akademisi tersebut mendapatkan efek peningkatan jumlah publikasi pada data base mereka dan juga data base universitas. Kondisi ini tentu menguntungkan bagi universitas untuk menaikan reting publikasi internasional mereka sehingga kelompok akademisi yang “malas” melalukan penelitian dan penulisan jurnal dapat “menumpangkan” kewajiban mereka kepada kelompok mahasiswa yang hendak memperoleh gelar master dan doktor di universitas tersebut.

Yang Barat

Pasca perang dunia kedua, kapitalisme barat (baca; Eropa dan Amerika) berupaya untuk  terus-menerus mendisain dan mengintervensi bentuk pengetahuan masyarakat dunia, khususnya negara-negara dunia ketiga. Kebenaran atas pengetahuan seolah-olah hanya datang dari mereka; jika ingin menjadi negara maju dan modern maka ikutilah strategi mereka termasuk dalam menyusun ilmu pengetahuan. Universitas didirikan, kurikulum disusun sedemikian rupa dengan mengikuti kehendak modernis; yaitu menyandarkan filsafat logika dan filsafat etika pada standart kapitalisme barat.

Mewajibkan publikasi internasional pada jurnal terindeks scopus menjadi satu contoh kekinian bahwa kita masih bersandar dengan apa yang menjadi standart barat. Seolah reputasi intelektualitas dari karya penelitian akan mendapatkan pengakuan jika berhasil publis pada jurnal internasional yang diklasifikasikan bereputasi semisal pada jurnal-jurnal yang terindeks scopus. Padahal dalam beberapa kasus banyak jurnal yang terindeks scopus justru kebobolan karena salah melakukan validasi atas karya-karya tulis hasil dari replikasi. Itulah yang terekam dalam laporan investigas Harian Kompas yang berjudul; Calon Guru Besar Terlibat Perjokian Ilmiah, di mana pada laporan tersebut dikatakan terdapat calon guru besar yang melakukan replikasi pada karya tulis skripsi atau tesis mahasiswa yang mereka bimbing.  

Belajar dari kasus-kasus ini tentu kita dapat menyimpulkan bahwa publisher jurnal yang “bereputasi” ternyata tidak secara utuh berhasil memproduksi karya-karya yang bereputasi. Institusi publisher mempunyai keterbatasan dalam melihat karya. Mereka hanya menilai karya secara verbatim berdasarkan kaidah-kaidah yang telah mereka tetapkan. Penilaian dengan cara verbatim ini tentu tidak dapat menemukan subtansi dari reputasi yang sesungguhnya, karena ia akan sangat bergantung pada nilai dan sikap pribadi seorang peneliti/akademisi. Menyandarkan reputasi hanya pada publisher jurnal tentu satu keselahan, sebab orang-orang seperti Greertz, Booke dan Anderson memiliki karya yang bermutu tanpa harus mempublikasinya pada jurnal yang bereputasi; kecuali jika mereka mau menjadi profesor di Indonesia, pasti akan ditanya apakah sudah ada publikasi pada jurnal terindeks scopus? Ah!  

Penutup

Januari 1992, seorang Serbia-Amerika bernama Steve Tesich menulis artikel berjudul “A Government of Lies” di majalah The Nation. Artikel ini membahas tentang skandal Pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Richard Nixon yang kemudian disebut Tesich dengan istilah “Sindrom Watergate”. Sejak kejadian skandal tersebut menurut Tesich, masyarakat Amerika Serikat mulai berlindung dari kebenaran. Setelah mundurnya Presidan Nixon dan diganti oleh Gerald Ford, masyarakat Amerika Serikat mulai memaafkan semua kejahatan yang telah dilakukan oleh Nixon. Hanya saja menurut Tesich, sikap memaafkan ini yang justru menjadikan masyarakat Amerika mulai menyamakan kebenaran dengan berita buruk sehingga mereka tidak menginginkan adanya berita buruk lagi meski itu adalah fakta kebenaran.

Rentetan peristiwa berikutnya juga terjadi, skandal penjualan senjata ke Iran yang dilakukan oleh Presiden Reagan tanpa persetujuan Senat dan sandiwara Perang Teluk Pertama, semakin mempertegas kenyataan bahwa banyak Masyarakat Amerika membutuhkan sensor pers untuk menutupi kebenaran yang mereka anggap perlu dengan alasan kepentingan nasional. Mereka hanya melihat apa yang dianggap mereka penting untuk dilihat tanpa memikirkan apa yang salah dengan hal tersebut. Rentetan perstiwa inilah yang kemudian menjadikan masyarakat Amerika memasuki fase baru yang kenal saat ini dengan istilah “post-truth”. Nah, anehnya kita saat ini justru menyandarkan pengakuan atas reputasi akademik kepada satu community yang justru paling gemar menyembunyikan kebenaran.

Seolah tanpa legitimasi Barat (Eropa-Amerika) reputasi kita tidak bisa menginternasional. Padahal bisa jadi, kumpulan artikel dari laporan penelitian kita justru bisa menjadi data base bagi mereka untuk melihat situasi sosial, politik dan ekonomi bangsa ini. Bukankah itu dapat menjadi satu ancaman bagi pertahanan kita? Tanpa membayar, mereka bisa mendapatkan data dinamika sosial masyarakat kita secara gratis. Ah, sukurnya beberapa data tersebut juga hasil replikasi dari laporan penelitian yang dilaksanakan dibalik meja. Dan mereka para pengelola jurnal yang (katanya) bereputasi itu ternyata bisa juga ditipu. Sial!  

Oleh: Mujahiddin,

Doktor Studi Pembangunan dan Dosen di Lingkungan FISIP UMSU

Tinggalkan komentar